Bab 35

278 32 1
                                    

Kantung mata di bawah mata Shezan menghitam, bola matanya memerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kantung mata di bawah mata Shezan menghitam, bola matanya memerah. Shezan menangis sepanjang malam.

Bahkan sampai saat ini, ia masih menangis. Di jam istirahat, di taman tak berbunga, di bawah pohon. Tempat di mana Bulan biasa berada.

"Nangis enggak bikin masalah selesai." Kenzi melirik Shezan sinis.

Shezan masih sesenggukan, namun air mata tak lagi keluar. Nafasnya terlihat terengah-engah.

"Bulan gimana Ken?"

Berita tentang Bulan sudah menyebar kemana-mana. Seluruh murid membicarakan tentang hal ini. Tidak ada yang membela Bulan, semua menghujat.

Kenzi terdiam. Otaknya bekerja ketika ia tenang, bila amarah menguasai ide bodoh lah yang akan muncul.

Kenzi memberikan sebuah botol kecil kepada Shezan, "Kita cari tahu dulu ini apa."

Shezan memperhatikan botol itu dengan detail. Tidak ada petunjuk apa pun tentang identitas botol itu. Di dalam botol itu terdapat cairan yang tinggal setengah.

Seseorang berlari menuju Kenzi dan Shezan. Orang itu menampakkan raut datar, tanpa diketahui siapa pun khawatir tengah menguasainya.

"Bulan kenapa? Dimana?" Suara Elzan terdengar.

"Lo siapa? Kenal aja kagak." Kenzi menatap Elzan sinis, nadanya pun tak santai.

"Bulan kenapa?" Tanya Elzan. Tangannya mengepal, tak tahan bila harus menunggu lagi.

"Ini masalah pribadi, kalau mau tahu datang aja ke kantor polisi! Bulan ada di sana." Shezan yang menjawab, sebelum Kenzi mengeluarkan suara.

Suara keras tiba-tiba terdengar. Suara yang berasal dari spiker sekolah, milik seorang guru bk. Mungkin saat ini seluruh warga sekolah sedang memusatkan pendengaran mereka.

"Cek cek cek, baik, di sini saya akan melaporkan sebuah berita buruk. Bahwa siswi yang bernama Bulan Shine Sofea telah dikeluarkan dari sekolah ini. Untuk menjaga nama baik, serta kesalahannya tidak dapat ditoleransi. Terima kasih."

Shezan, Kenzi, serta Elzan tersentak kaget. Air mata Shezan mengucur deras. Kakinya bergetar, bahkan ia sudah terduduk.

Elzan berlari kencang. Tak ada lagi raut datarnya, yang ada hanya raut khawatir. Ia berlari menuju ruang bk.

"Kenapa? Kenapa Bulan diperlakukan seperti ini?" Ucap Elzan tatkala kakinya sudah menginjak lantai ruang bk.

"Salam terlebih dahulu Elzan!" Guru wanita yang terkenal sabar itu tersenyum.

Elzan tersenyum miring, "Bulan belum terbukti bersalah, kenapa sudah diputuskan?" Nada Elzan terdengar penuh tekanan.

"Tapi Bulan sudah berada di dalam sel penjara, kami juga harus menjaga nama baik sekolah demi masa depan anak murid kami. Termasuk kamu," jelas guru itu dengan kelembutan.

Elzan menggeleng, "Nama baik? Bukankah Bulan juga anak murid anda?"

"Tidak lagi."

"Kalau begitu, kembalikan nama baik sekolah ini yang didapatkan dari prestasi Bulan. Kembalikan nama baik itu kepada Bulan! Bisa? Tentu tidak."

"Maaf jika saya terkesan tidak sopan! Permisi."

Elzan pergi meninggalkan guru itu yang larut dalam diamnya. Kaki panjangnya melangkah cepat menghampiri tempat motornya terparkir.

...

Dibalik sel penjara, seorang gadis terduduk. Lututnya terlipat. Penampilannya berantakan, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Bulan, ia tak menangis. Raut penyesalan juga tak ada di wajah cantiknya.

Ia senang di sini. Bisa sendiri, tak ada yang menyiksanya. Bahkan, ia sudah nyaman dipeluk keheningan.

Untuk apa hidup di luar? Jika sama-sama tak bisa bebas. Di sini, di luar, di mana pun. Tak akan pernah ia dapati bahagia yang sesungguhnya. Tangis, tangis, dan tangis.

"Bunda. Bulan menang." Bulan tertawa sendiri. Tawanya terdengar pedih.

"Bulan menang bunda. Bulan sudah tertawa." Tawa Bulan semakin kencang. Hingga kepalanya menengadah. Namun, air matanya juga mengalir.

Tawanya mereda. Gembok di pintu sel penjara itu dibuka. Bulan menatap polisi itu datar.

"Ada yang ingin menemui Anda," ucap polisi itu, sebelum menyingkir. Memberi Bulan jalan.

Bulan menghela nafas, ia berdiri dari duduknya. Berjalan diikuti seorang polisi.

Seseorang dengan seragam sekolah yang sama dengannya tengah duduk. Bulan ingin berbalik, namun orang itu sudah menatapnya.

Elzan dan Bulan, keduanya duduk berhadapan. Yang satu menatap dengan mata berbinar, Elzan merasakan rindu dan khawatir tercampur. Bulan memalingkan wajah, melirik pun tidak.

"Bulan, fine?" Pertanyaan itu tak mendapat jawaban.

Elzan tersenyum tipis. Tangannya yang di atas meja, maju perlahan. Sampai berada di atas tangan Bulan.

"Jangan khawatir!" Elzan tersenyum lebar.

Mereka saling bertatapan. Bulan mematung, ia melihat ketulusan di dalam mata Elzan. Tidak ada tanda-tanda kebohongan dari sana. Karena tatapan itu jauh berbeda dengan tatapan Aska untuknya.

Bulan berpaling. Elzan menggenggam erat tangan Bulan. Bulan membiarkan, ia tak menampik bahwa ada kehangatan yang ia rasakan.

"Waktu anda telah habis, silahkan kembali ke dalam sel!" Tegas polisi itu.

Tanpa ragu, Bulan berdiri. Ia menampik genggaman tangan Elzan.

Elzan menarik tangan Bulan. Hingga Bulan menubruk dada bidangnya. Ia memeluk erat tubuh Bulan. Membisikkan kata penyemangat.

"Jangan khawatir Bulan!" Elzan menaruh kepalanya di atas kepala Bulan. Tangannya mengelus rambut Bulan.

"Gue cinta sama lo."

Bulan mendorong Elzan. Ia berjalan cepat, kembali ke dalam sel.

 Ia berjalan cepat, kembali ke dalam sel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang