This my first story! Belum ada niat untuk merevisi, jadi kalau Kata-katanya berantakan dan alurnya tidak tertata. I'm so sorry:)
...
Hidup Bulan penuh kepahitan, entah karena keluarga maupun percintaan. Tidak ada yang berpihak, kecuali teman-teman...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gaun indah berwarna merah membalut tubuhku. Aku menuruni tangga dengan anggun, ayah tersenyum menatapku. Menodongkan tangannya agar bisa kugenggam.
Aku melepas genggaman ayahku kala Amel telah datang, menggantikan tanganku. Aku berjalan mengikuti mereka.
Jika bukan karena ayah memaksaku ikut ke makan malam keluarga, aku takkan mau.
Sara, wanita ini berjalan di sampingku. Tak ada jarak di antara kami. Mulutnya bergerak membisikkan sesuatu.
"Ambil dompet saya di kamar!"
Tanpa membantah, aku berjalan menjauh, menuju kamar ayah dan wanita itu.
Pintu terbuka. Dulu, di kasur ini aku tidur di antara ayah dan bunda. Bercerita dan tertawa sebelum terlelap.
Aku mulai berjalan mencari di mana dompet wanita ini. Membuka dari laci satu ke laci lain. Namun tetap tak ada.
Kala ingin membuka laci terakhir pintunya terkunci. Karena penasaran, aku yang awalnya mencari dompet kini mencari kunci.
Ketemu, di bawah tempat tidur. Aku membuka laci itu. Di dalam sana banyak foto-foto. Di gantung di dalam laci.
Anehnya, semua foto berwarna merah. Aku melihat satu persatu dengan teliti.
Hatiku tersentak, tatapanku terfokus pada satu foto. Aku mengambilnya, ingin melihatnya lebih jelas.
Fotonya dipotong. Tidak terlihat wajahnya, hanya gaunnya saja yang nampak. Gaun indah, gaun yang pernah kulihat sebelumnya. Namun aku lupa milik siapa.
Suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Aku berlari keluar, sekencang apapun aku lari. Mobil milik ayah sudah pergi. Meninggalkanku.
Aku baru sadar, ternyata aku tertipu. Aku tertawa, menertawakan kebodohanku.
Kembali ke dunia yang pedih. Aku berjalan pelan menuju kamar di lantai teratas, ruangan satu-satunya di lantai itu.
Gelap menyapa kali pertama saat pintu terbuka. Kulangkahkan kaki memasuki kegelapan. Nyaman dan tentram.
Aku berteriak. Air mata tiba-tiba mengalir. Sesak menghantam relung hatiku.
"Tuhan aku membutuhkanmu, namun apakah engkau melihatku meski aku tak pernah mengingatmu?"
"Tuhan hidupku ini tak berarti, maka jangan biarkan aku bernapas lagi!"
"Tuhan aku lelah, jemput aku. Ajak aku pulang! Aku tak bisa lagi. Maafkan aku yang mengingatmu hanya ketika sulit!" Teriakku. Dengan air mata tak henti-hentinya membasahi pipiku.
Bahagia itu yang bagaimana? Bagaimana rasanya punya keluarga utuh? Yang selalu bercanda. Aku pernah, namun telah lupa rasanya.
Aku menyayangi ayah. Sayangku tidak bertepuk sebelah tangan, dulu, tidak tahu jika sekarang.
Aku percaya bahwa roda kehidupan itu ada. Dulu tak ada hari yang kujalani tanpa tawa dan orang tua.
Kini, aku sendiri. Ada ayah, tapi ayahku sudah tak lagi memperhatikanku. Sudah tak lagi mengenalku.
Gawaiku berdering. Aku menghapus air mata, berjalan ke arah kasur. Nama Lauren terpampang di layar segi empat itu.
"Hiks, Bulan gue putus sama Brayen. Hiks." Lauren berbicara di tengah sesenggukannya.
"Tuhan pengen kamu mencintai yang mencintainya Ren. Sesuatu yang tidak ditakdirkan untukmu, mau seerat apapun menggenggam. Pasti lepas."
"Jangan nangis, belum tentu Brayen nangisin lo."
"Lo yang seharusnya sedih karena kehilangan orang yang lo cintai atau Brayen karena kehilangan orang yang mencintainya. Jikalau dia cinta sama lo, dia enggak akan nyerah gitu aja."
Aku tersenyum mendengar Lauren berhenti menangis. Lauren berbicara dengan tempo yang cepat. Itu berarti ia sudah baik-baik saja.
Kami saling bertukar cerita. Menyambungkan telepon ke Sandra juga Gena.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.