Bab 11

296 51 5
                                        

Sepanjang perjalananku menuju kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepanjang perjalananku menuju kelas.  Tidak ada mata yang tak menatapku. Semua melihat ke arahku dengan tatapan yang bervariasi. Namun, tatapan kagum, senang tak kudapati.

Tawa menggema kala aku tersungkur. Sebelah kaki dari seseorang terjulur, sengaja menjegalku. Tidak ada yang mengulurkan tangan. Bahkan, mereka berlomba-lomba mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan kejadian ini.

Jika bisa sendiri mengapa harus meminta orang lain? Aku berdiri sendiri. Berjalan dengan tampang datar.

Baru saja akan masuk kelas. Saat melewati pintu, seragamku ternodai tepung dari ember di atas pintu.

Ditertawakan lagi dan lagi. Sampai ada yang memegang perut. Sebegitu lucukah penderitaan yang menimpaku?

Kutengok tempat di mana mejaku berada, di sana penuh akan sampah. Mulai dari kertas hingga bungkusan jajanan. Hanya di atas mejaku tidak sampai ke milik Sandra.

Aku menghela nafas guna memadamkan api yang membara dalam diriku.

"Makanya jadi anak jangan munafik!" Aku tak jadi berbalik saat mendengar kata salah satu dari teman sekelasku.

"Dari lo, gue jadi tahu enggak semua yang kayaknya baik faktanya juga."

"Siapa yang menyuruhmu menilaiku?" Ucapku dalam hati. Ingin mengutarakan, namun masalah akan menjadi lebih runyam.

Aku berbalik, berjalan meninggalkan mereka. Semoga di toilet nanti, tidak ada yang menambah kotornya diriku.

...

Suara tangis Lauren menyakiti hatiku. Dalam pelukku ia menumpahkan air matanya.

"Jadi selama ini orang tua Brayen belum tahu?"

Lauren menatap Gena. Melepaskan pelukannya sebelum menggeleng dan menyeka air matanya.

"Brayen bilang udah, mama papanya setuju. Terus waktu kemarin gue ke rumahnya, mamanya bilang kalau Brayen enggak bisa sama gue." Lauren berkata diselingi sesenggukan.

"Pantes Brayen alasan mulu kalau gue mau kerumahnya."

"Udahlah, belum jodoh. Beda keyakinan itu susah. Sama yang pasti-pasti aja!" Gena memasukkan makanan ringan ke mulutnya setelah berucap.

"Iya Ren. Belum jodoh, enggak apa-apa. Coba tanya dulu Brayen, bagaimana selanjutnya!" Aku mengelus bahu Lauren.

"Sakit hati gue. Kayak dibuang gitu. Sedih banget, enggak ada lagi semangat." Lauren menangis kembali. Air matanya mengalir.

"Merasa paling sedih di dunia ya lo. Cih, noh lihat orang-orang di pinggir jalan! Enggak punya rumah, makan aja susah. Banyak-banyak bersyukur lo! Dikasih sedih sekali kek enggak pernah bahagia aja."

Sandra tiba-tiba datang. Langsung berbicara panjang dengan kata-kata menyayat.

Aku mengangguk, membenarkan. Perkataan itu menyentil hatiku.

"Mana oleh-olehnya Lan?" Gena menodongkan tangan ke arahku.

"Oleh-oleh?" Dahiku terlipat, menatap bingung ke arah mereka.

Sandra berdecak, "Lo kemarin kan habis jalan-jalan."

"Ah iya." Aku memperlihatkan gigi rataku.

"Jadi mana?"

Aku terdiam sejenak. Jika berkata tak ada, mereka akan meragukan omonganku.

"Kemarin lupa soalnya keasikan. Ke kantin aja yuk, gue traktir!"

Semua langsung berdiri. Bahkan Lauren sudah bisa tersenyum. Meski sisa air matanya masih ada.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Begitu semangatnya mereka sampai berjalan cepat, meninggalkanku.

Aku tidak butuh kata-kata menenangkan dari mereka. Aku tidak menyalahkan mereka karena tidak bertanya tentang keadaanku. Aku saja yang terlalu profesional dalam hal kemunafikan.

 Aku saja yang terlalu profesional dalam hal kemunafikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang