Bab 17

232 44 5
                                    

"Bulan sayang kemari!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bulan sayang kemari!"

Sepasang kaki mungil itu berlari sambil membawa bola. Menghampiri sang bunda yang melambai.

Pagi yang cerah, angin terasa sejuk di bawah pohon rindang. Satu keluarga kecil menggelar tikar, menaruh banyak makanan di atasnya.

"Bunda, makan?" Pelafalan bahasa yang belum lancar membuat sang bunda gemas pada putrinya.

"Iya sayang, nunggu ayah dulu." Bunda mengecup pipi gembul Bulan dengan gemas.

Tak lama seorang pria datang mengganggu kemesraan ibu dan anak itu.

Pria itu duduk di sebelah istrinya sekaligus merangkul bahunya. Tak lama, kecupan ia berikan di kening sang putri.

"Ayo makan!"

Ketiganya makan diiringi canda tawa. Terlihat sangat bahagia.

Sehabis itu. Bulan berlari mengejar sang ayah. Ayahnya memegang tali sambungan layang-layang. Mereka tertawa begitupun sang bunda yang masih duduk di tempatnya.

Bruk

Bulan tersungkur. Mendengar itu bundanya berdiri dan ayahnya berhenti.

Namun, Bulan kembali berdiri lagi. Menghampiri sang ayah. Memeluk erat cinta pertamanya.

"Bulan. Enggak papa nak? Ada yang sakit?" Raut wajah sang ayah terlihat khawatir.

Bulan menggeleng, "Bulan kan kuat yah."

"Iya dong, putri ayah harus kuat!"

Rengkuhan mereka terlepas. Sang ayah menyodorkan tangan ke arah bunda yang berjalan mendekat. Keduanya saling bertatapan dan melempar senyum.

Keduanya berlari dengan tangan bertautan, Bulan merengek lalu mengejar mereka.

Mimpi, aku bermimpi. Kenangan itu pernah terjadi. Dulu, segalanya yang indah sudah kulewati.

Aku duduk di atas kasur. Hening, gelap, pengap. Di sinilah, di kamarku. Air mataku mengalir kembali.

...

Di manapun aku selalu sendiri. Seperti saat ini, aku berjalan sendiri di tengah koridor sepi.

Jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku berhenti, ada yang mengganjal di pikiranku.

Buku matematikaku ketinggalan. Hari ini penumpukan tugas. Gurunya galak bukan main, aku segera berlari, kembali menuju gerbang.

Aku berlari di atas trotoar pinggir jalan. Tak jauh dari sekolahku ada sebuah pangkalan ojek.

Langkahku terhenti. Di sebrang sana, di depan cafe berjejer mobil-mobil. Salah satu mobil di sana terasa tak asing bagiku.

Aku menengok ke kanan-kiri. Mewanti-wanti adanya kendaraan yang melintas. Sepi, aku segera berjalan cepat ke sebrang.

Memasuki cafe dengan langkah semangat. Namun, kala sudah dekat aku duduk di kursi sampingku yang berjarak satu meja dari mereka.

"Iya, sok banget. Emang apa sih yang kita enggak kita tahu dari Bulan?" Gena menjawab ucapan Lauren sebelumnya.

"Enggak penting sih menurut gue. Mau tahu ataupun enggak. Gue enggak peduli." Suara Sandra terdengar.

Air mataku mengalir. Buku menu menutupi semua itu. Orang-orang tidak tahu bahwa ada luka yang sangat terasa di hatiku.

"Kalau bukan karena uangnya udah gue buang." Lagi-lagi suara Sandra terdengar. Perkataannya menambah sesak.

Jadi selama ini uangku yang diharapkan kehadirannya oleh mereka?

"Nyusahin punya temen kayak Bulan. Enggak seru, untung kaya. Bisa makan gratis setiap main sama dia." Gena tertawa kecil, diikuti yang lain.

Aku keluar dari cafe itu. Sudah tak tahan lagi. Entah bagaimana selanjutnya, aku menjauh atau mereka yang mengaku.

 Entah bagaimana selanjutnya, aku menjauh atau mereka yang mengaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang