Bab 5

528 98 29
                                    

Senja belum muncul menandakan petang belum usai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senja belum muncul menandakan petang belum usai. Satu persatu anak tangga kupijak, mereka menuntunku menuju lantai dasar.

Di sana Amel bagai ulat, bergelayut manja di lengan ayah yang berkamuflase menjadi dahan pohon.

"Bulan mau ke mana?" Ayah tersenyum lembut, menatapku yang mematung di ujung tangga.

Tak salah ayah bertanya. Karena sweeter oversize dan rok di atas lutut yang membalut tubuhku, menjelaskan bahwa aku akan keluar.

"Ke rumah Sandra," ucapku setelah tersadar.

"Tidak ikut kami makan malam?"

Mulutku sudah ingin mengucapkan kata 'iya'. Namun, mataku mengarah ke wajah wanita itu. Wanita itu menatapku tajam.

Aku tahu tatapan itu. Menuntutku menjawab tidak. Menghembuskan nafas berat kulakukan untuk sedikit menekan ego.

"Tidak yah, aku pergi dulu."

Aku berjalan keluar rumah. Jika pergi bersama mereka aku pun hanya seperti pajangan. Tak dianggap, bahkan tak dipandang.

Mereka mengobrol, bercerita tentang hal apapun. Lalu Amel akan memesan banyak makanan dan kedua orang tuanya akan menyuapkan ke mulutnya. Aku hafal skenario ini.

Biarlah keluarga kecil itu bahagia. Tak apa, aku sudah terbiasa tak dianggap keluarga. Bahkan, dimatikan berulang kali sudah menjadi hobiku.

Mobil merah milik Gena sudah menunggu. Aku masuk dan mesin mobil pun berkerja, hingga menjauhi rumah itu.

Keramaian jalanan yang jarang kulihat tak kusia-siakan. Suara bising klakson kendaraan mengisi keheningan. Berbunyi saling bersahutan, apalagi saat lampu lalu lintas baru berwarna hijau.

"Sandra apa enggak mikir ya, rumah kita ke rumah dia tuh jauh, kenapa enggak langsung ketemu di cafe aja sih." Mata Gena fokus menyetir, mulutnya sibuk menggerutu.

"Nyetir aja masih belum bisa lurus, udah ngomongin orang. Fokus aja!" Aku tertawa sendiri, Gena melirikku sinis.

Di depan gerbang, Sandra sudah melambai ke arah kami.

"Itu siapa?" Gena menunjuk pria di atas jok motor besar.

"Pacar Lauren kali."

Gena mengangguk. Kami berdua turun dari mobil. Bergantian memeluk Sandra dan Lauren.

"Udah baikan nih kalian?" Aku menginjak kaki Sandra, menatapnya tajam.

"Masuk yuk!" Di tengah kecanggungan, mama Sandra berucap.

Kami masuk bersama. Meninggalkan Lauren yang masih berpamitan kepada kekasihnya.

Rumah Lauren minimalis bergaya modern, berlantai dua. Mama Lauren sangat baik, tutur katanya lembut. Berbalik dengan putrinya.

"Duduk dulu ya, Tante ambilkan cemilan."

Sepeninggalan mama Sandra. Kami saling menatap. Tersenyum bersamaan. Berdiri dan berlari serentak. Mengintip dua sejoli yang sedang kasmaran.

Aku banyak-banyak beristighfar. Baikkah bermesraan di depan jomblo? Nanti aku akan menyuruh Lauren bertanya ke gurunya.

"Kalian ngapain?" Kami menengok ke arah Lauren yang baru saja muncul dari balik pintu.

"Baikkah bermesraan di depan jomblo?" Pertanyaan Sandra persis dengan apa yang aku pikirkan.

"Siapa suruh lihat yang mesra-mesra. Rasain jomblo." Nada mengejek Lauren membuatku mengumpat dalam hati.

Lauren berjalan begitu saja. Namun berhenti kala Sandra berucap.

"Enggak sadar diri, siapa yang jadi tempat lo bilang, gue sama Brayen berantem. Terus Nangis, berasa orang paling sedih di dunia. Udah seneng lupa temen."

Sandra berjalan, mengibaskan rambut panjangnya. Wajah Lauren menjadi korban kibasan itu.

Aku tersenyum melihat ini semua. Merekamnya baik-baik di otakku. Di luar, bersama teman-teman adalah harapan bahagiaku satu-satunya.

 Di luar, bersama teman-teman adalah harapan bahagiaku satu-satunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang