Bulan membuka mata. Kenangan-kenangan itu datang, membuat hatinya kembali pilu. Lama kelamaan air mata turun membasahi pipinya. Bulan ingin hilang ingatan, namun jika itu terjadi ia tidak bisa lagi mengingat bundanya.
Kedua tangannya ia rentangkan. Menikmati desiran angin di malam hari. Di pembatas jembatan, di atas sungai. Di sanalah Bulan berdiri
Ia tak kuat lagi menahan segala amarah. Selalu menekan ego di segala keadaan. Ia ingin jadi egois. Melakukan apapun tanpa menghiraukan perasaan orang lain, sama seperti yang dilakukan semua orang padanya.
Dengan perlahan Bulan naik ke pembatas itu. Ia menatap ke bawah, tempat di mana air mengalir deras.
Bulan tersenyum manis, "Bunda, ayah, Bulan datang."
Bulan memejamkan mata. Ia memajukan tubuh bagian atasnya. Hingga, seluruh tubuhnya tengah terjun saat ini.
Byur
Bukan tubuh Bulan yang terjatuh. Ia membuka mata. Sepatunya hanyut dibawa aliran air. Bulan mendongak kala ia merasa tangannya digenggam erat oleh seseorang.
"Apa yang kamu lakukan?" Ucap seseorang dari atas sana.
Bulan menatap gadis itu terkejut. Ia menatap ke bawah, lautan siap melahapnya. Bulan mencoba melepaskan genggaman sang gadis.
"Lepasin gue!"
"Enggak, aku bantu kamu naik!"
Kesal, rasa itu yang ada di hatinya. Gadis berhijab ini siapa? Kenal saja tidak, mengapa dengan beraninya menarik kembali nyawanya yang hampir melayang? Bulan pikir di pukul sebelas malam sudah tidak ada orang berkeliaran.
"Kalau kamu menyerah untuk apa kamu bertahan?"
"Kamu hebat sudah bertahan sejauh ini. Harusnya kamu berdoa sama Tuhan agar lebih hebat meski badai terlampau kuat!"
Ucapannya membuat Bulan melemaskan tubuh. Membiarkan gadis itu menarik tubuh yang bergelantungan ini.
Kuatnya fisik gadis ini sangat berbeda dari penampilannya. Gamis dan hijabnya tidak menandakan bahwa ia sekuat ini. Terbukti, dengan kaki bulan yang bisa kembali memijak trotoar.
"Kenapa sih lo mau nolong gue? Biarin gue mati, itu yang semua orang pengen dari gue." Bulan memukul-mukul dadanya, air matanya terus mengalir.
"Aku enggak, mati itu ada waktunya. Jangan mendahului kehendak Tuhan, dunia ini cuman sesaat begitu pula sakitmu."
Bulan diam, hanyut dalam kesedihannya. Gadis berhijab itu memeluk erat gadis seumurannya.
"Aku Shezan. Kamu?" Shezan menyodorkan tangannya. Setelah keadaan tenang.
Bulan menyambut uluran tangan Shezan, "Bulan."
"Waw, Bulan. Terang, menyinari banyak orang." Shezan tersenyum, hingga gigi ratanya terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Massa (TAMAT)✓
Teen FictionThis my first story! Belum ada niat untuk merevisi, jadi kalau Kata-katanya berantakan dan alurnya tidak tertata. I'm so sorry:) ... Hidup Bulan penuh kepahitan, entah karena keluarga maupun percintaan. Tidak ada yang berpihak, kecuali teman-teman...