Bab 18

256 41 7
                                    

"Tidakkah cukup bila aku sengsara di rumah saja? Kalian tak perlu repot-repot menjatuhkanku! Aku sudah tersungkur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidakkah cukup bila aku sengsara di rumah saja? Kalian tak perlu repot-repot menjatuhkanku! Aku sudah tersungkur."

~Bulan tak bercahaya

...

Darah keluar dari sudut bibirku. Tubuhku tersungkur, penyebabnya ialah wanita ini, wanita yang berdiri di depanku. Ia mengepalkan tangan, siap meluncurkan tonjokan kembali.

Aku berdiri, membalas tatapan wanita itu. Sudah kuduga, tatapannya menyiratkan bahwa api amarah lebih berkobar.

Pipiku kembali mendapat tonjokan. Lebih keras dari sebelumnya. Nyeri, perih, sakit beradu.

"Berani sekali kamu membolos sekolah."

"Kenapa anda terus mengatur hidup saya? Siapa anda telah berani menganiaya saya?"

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipiku, sampai kepalaku menengok ke samping. Darah kembali mengalir di sudut bibir.

Aku lelah. Aku sudah tidak peduli. Mau aku melawan ataupun tidak, akan tetap sama sakitnya.

"Jika anda mau uang ayah saya. Silahkan ambil semua, biarkan saya pergi!" Air mataku sudah mengalir, aku berkata dengan suara rendah.

"Uang? Saya tidak butuh. Saya maunya kamu."

Aku tersentak sebelum semuanya gelap karena tubuhku melayang setelah mendapat sebuah tendangan.

...

Aku mengerjapkan mata, menyesuaikan cahaya. Yang pertama kulihat ialah wajah Amel. Rautnya menampakkan kekhawatiran.

"Kakak udah sadar? Aku obati lukanya ya kak!" Amel duduk di sisi ranjang.

"Enggak usah, keluar!" Ucapku dengan nada menuntut.

Cahaya menyelinap masuk lewat gorden mocca itu. Jam di dinding menunjukkan pukul enam pagi. Sontak, aku langsung berjalan menuju kamar mandi. Dengan tulang yang terasa diremuk.

Kepalaku menengok ke kanan dan kiri. Menanti kendaraan umum melintas.

Lewat jendela angkot di belakangku. Aku bisa melihat mobil milik Sandra. Mobil merah itu diisi tiga orang gadis yang sangat kukenal.

Aku hanya mampu menatap mereka sendu, sedangkan ketiganya mengobrol dan tertawa, berjoget diiringi musik yang tak kudengar. Mungkin.

Baru kusadari, mereka selalu masuk ke kelas secara bersamaan dan pulang sama-sama. Padahal, tidak ada yang tidak mempunyai kendaraan.

Ketika sekolah bukan lagi tempat menyenangkan, semangat jadi hilang. Tapi, bukankah sekolah tidak difungsikan untuk itu, melainkan belajar?

Lauren melambai, baru saja mereka keluar dari tempat parkir. Aku balas melambai, berjalan menghampiri mereka.

Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang