Bab 2

1.1K 147 49
                                    

Pohon rindang menaungiku dari panasnya sinar matahari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pohon rindang menaungiku dari panasnya sinar matahari. Bangku taman menjadi alas dudukku. Di sini aku ditemani makhluk hidup lainnya, seperti pohon, bunga, tidak ada yang sejenis denganku.

Jam istirahat, bagiku bukan waktu untuk berleha-leha. Aku menghabiskannya dengan membaca buku non-fiksi. Aku hanya remaja yang haus motivasi. Kadang anak sepertiku tidak butuh bentakan, tapi tutur yang meyakinkan dan kata yang menyentil hati.

Musik menggema di telingaku dari gawai mengalir ke dalam kabel headset. Kedua kaki tak terlalu putih milikku bergoyang mengikuti irama.

Kedamaian berakhir dengan hadirnya beberapa orang gadis. Salah satu menepuk bahuku.

"Nih, susu coklat kesukaan lo." Gena yang berucap, bernada kasar seperti biasa.

Aku tersenyum, menerimanya dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Kedamaianku diganti dengan kenyamanan, ini adalah keramaian yang membahagiakan.

Tiga gadis yang mengelilingiku adalah temanku. Karena mereka beda orang, tentu sifat juga berbeda. Semua bisa kuikuti. Kuncinya, selalu mendengar curahan hati mereka.

"Kenapa diem aja dari tadi Ren?" Tanyaku pada gadis berambut lurus sebahu. Aku bukan asal bertanya, sedari tadi Lauren berwajah murung sambil terus menatap layar gawai.

"Biasa, gulat sama Brayen." Sandra berbicara santai. Meminum minuman kaleng setelah membuka mulut.

"Kenapa lagi?" Lauren menatap ke arahku.

"Hal yang sama." Lauren menghela nafas. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Bulan udah bilang beberapa kali kan? Pacaran beda agama itu sulit. Urusan lo bukan lagi sama manusia, tapi Tuhan." Gena berbicara, padahal aku sudah membuka mulut, siap mengeluarkan suara.

"Udahlah, nasihatin orang jatuh cinta itu sama aja ngomong sama batu." Lauren melirik sinis Sandra.

"Ren, kuat jalanin, enggak tinggalin. Tuhan kita juga nyiptain banyak laki-laki berkualitas. Cuman, lo lagi buta."

Aku selesai berucap, semua diam. Lauren meneteskan air mata, Sandra yang disampingnya menepuk bahunya, menenangkan. Kalian sedang melihat Lauren yang lain, biasanya gadis itu paling banyak tingkah di antara kami.

Bel pulang menggema di seluruh sudut sekolah. Para siswa berbondong-bondong keluar kelas. Tak terkecuali kami, aku dan teman-temanku.

"Eh, hari ini jadikan ke mall?" Gena tiba-tiba berucap di tengah perjalanan kami menuju gerbang.

Aku mendongak kala merasa diperhatikan. Sandra dan Lauren tidak menjawab Gena, mereka menatapku. Dengan tatapan menuntut.

"Kayak biasa."

Semua menghela nafas, berkata "Yah." secara bersamaan. Aku tersenyum saja menanggapi.

"Sekali-kali lo ikut, segitu sibuknya lo? Siapa lo, menteri? Sibuk hitung uang rakyat ya lo?" Tidak perlu melihat orangnya, pasti Sandra yang berucap.

Maklum, Sandra tidak punya penyaring dalam mulutnya. Berkata apapun tanpa menghiraukan akibatnya. Cabai saja masih kalah pedas dari mulut Sandra.

"Iya, gue ikut."

"Karena ini Pertama kali Bulan ikut kita, dia yang traktir. Gimana? Makannya aja deh." Lauren memutar jari telunjuknya, mengarah ke wajahku.

Semua mengangguk setuju. Senyum lebar tidak lupa mereka tampilkan. Aku tidak bisa berkata selain ya. Sulit menjadi orang yang mudah merasa tidak enakan.

Mereka benar, ini pertama kali aku merasa bebas. Biasanya aku langsung berucap tidak. Tetap berkata tidak, meski mereka mencoba menggoyahkan.

 Tetap berkata tidak, meski mereka mencoba menggoyahkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang