Namaku Aleysia Olin Elina. Terlalu panjang ya? Baiklah, panggil aku Olin.
Aku tinggal di ibu kota negeri ini. Pagi ini, hujan turun di kotaku. Tidak deras. Hanya rintik-rintik. Jemariku menyentuh kaca mobil yang terasa dingin oleh embun. Dingin yang kemudian menyergap tiap ujung jariku, lantas mengalir ke seluruh tubuh melalui telapak tangan.
Aku menghela napas cukup panjang. Sepertinya, baru kemarin liburan semester itu tiba. Tapi lihatlah! Sekarang sudah waktunya masuk sekolah lagi seperti biasa. Membuatku malas bangun pada pagi-pagi buta yang suasananya dingin menusuk tulang.
Ah ya, aku sudah kelas tiga SMA. Aku mengambil jurusan ipa walaupun sebenarnya aku kurang tertarik dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Dan ini sudah memasuki semester kedua selama aku menjadi murid senior. Aku hanya seorang murid biasa-biasa saja di kelas. Tak terlalu pandai, apalagi bintang kelas. Aku jelas jauh dari kata itu. Sejauh ini, aku hanya memiliki satu teman di sekolahku, namanya Rara. Dia teman yang baik untukku.
Selama aku berstatus sebagai murid SMA, aku sama sekali belum pernah berurusan dengan persoalan cinta. Aku pun berharap agar tetap seperti ini ke depannya. Entah itu hanya keinginanku yang sebenarnya atau keinginan belaka yang hanya datang sesaat, aku hanya tidak mau terjun ke dalam masalah rumit yang akan membuat pikiranku terjebak dalam labirin. Jatuh cinta. Dua kata itu akhir-akhir ini mengganggu pikiranku. Tentang bagaimana rasanya dicintai dengan penuh ketulusan, bukan kebohongan.
Aku tidak tahu takdirku akan seperti apa nantinya, lagipula bukankah cara kerja semesta tidak bisa kita duga? Dan tentang pertemuan dengan seseorang yang asing di mata kita, itu pun terjadi secara tiba-tiba dan kita tidak bisa mencegahnya atau memintanya untuk bertemu nanti saja. Hal itu bukan kehendak dari dalam diri manusia, melainkan Sang Pencipta. Karena itu sudah tertulis di dalam buku-Nya untuk kita-para manusia yang diciptakan.
"Nona, sudah sampai." ucap Pak Yusuf, sopir pribadi yang selalu mengantarku ke sekolah, atas perintah Ayah.
Sebenarnya, aku bisa saja ke sekolah menggunakan kendaraan umum, tapi Ayah menolak pendapatku. Alasannya, dia khawatir jika terjadi apa-apa dengan anak semata wayangnya ini. Ya, hanya alasan itu. Dan aku memaklumi kekhawatirannya.
"Iya, Pak. Saya turun dulu, terima kasih ya!" balasku, sebelum benar-benar turun dari mobil.
Kudengar dari seseorang, katanya masa-masa sekolah adalah masa yang paling indah. Dari sekolah, kita bisa memiliki teman. Dari sekolah, kita bisa belajar bagaimana cara menyelesaikan masalah. Dan dari sekolah, kita dapat mengetahui banyak hal yang belum kita ketahui sebelumnya. Namun, aku kurang sependapat dengan seseorang yang berpikiran seperti itu. Sebab aku lebih menyukai masa-masa ketika diriku masih kecil. Di mana masa kita sedang mengalami pertumbuhan dan selalu didampingi oleh orang tua. Di mana masa kita hanya mengenal senang dan sedih secara gamblang. Senang karena dibelikan es krim, dan sedih karena tidak dibolehkan makan permen. Masalah anak kecil sangat sederhana, dibandingkan ketika kita sedang beranjak dewasa. Masalah datang silih berganti. Entah tentang pendidikan, percintaan, dan masih banyak lagi.
Aku ingin menjadi anak kecil kembali, karena dengan itu, aku tidak akan merasakan masalah-masalah yang kian rumitnya menimpa hidupku. Aku akan selalu dibuat bahagia oleh kedua orang tuaku. Dan mereka akan selalu ada ketika aku bersedih. Ah, indahnya memiliki keluarga yang utuh, yang hanya berada di dalam anganku.
"Olin!"
Aku menoleh ke belakang dengan sebelah alis yang terangkat, aku jelas tahu siapa yang memanggilku. Suaranya sangat familiar dan dapat dengan mudah aku kenali. Siapa lagi kalau bukan Rara-temanku?
"Bagaimana liburanmu?" tanya Rara seraya menjajari langkahku.
Aku mengangkat bahu. "Membosankan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Erland [END]
Romance"𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚝𝚞𝚕𝚞𝚜𝚊𝚗, 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚎𝚛𝚙𝚊𝚔𝚜𝚊𝚊𝚗." -𝑫𝒆𝒂𝒓 𝑬𝒓𝒍𝒂𝒏𝒅, 2021 *** [Follow dulu sebelum baca!] Highest Rank in 2022: #1 truestory (16-18 Juli 2022) Started : 26 April 2021 Finished: 07...