7. Tragedi Toko Buku

142 18 0
                                    

“Novel apa yang sedang kamu baca, Olin?” Rara bertanya dengan mulut yang masih mengunyah bakso yang tadi ia pesan.

Aku menatap Rara geli. “Telan dulu makanan yang ada di mulutmu, Ra, baru kamu boleh bertanya.”

Rara mendecih samar. Kemudian setelah kegiatan mengunyah makanannya selesai, dia membuka mulutnya lagi. “Nah, jadi novel apa yang sedang kamu baca, Olin?” dia mengulang pertanyaan yang sama seperti sebelumnya kepadaku.

“Judulnya ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’, karya penulis favoritku.”

“Kamu baru membelinya?” Rara bertanya lagi.

“Tidak, aku membelinya saat tahun kemarin. Hanya saja, aku sedang membaca ulang ceritanya.” kataku, menjelaskan.

Rara melotot. “Segitu sukanya kamu dengan kegiatan membaca, hah?”

Aku mendengus. “Aku akan mengulang membacanya ketika cerita di dalamnya menarik. Atau jika aku sedang malas pergi ke toko buku lalu tidak ada bahan bacaan yang baru, aku akan mengulang membaca novel yang sudah kubaca.”

Rara menggelengkan kepala seakan-akan dia tidak mempercayai kalimatku.

“Bukankah kamu juga suka membaca, Ra?” kali ini aku yang bertanya kepada Rara.

“Suka sih suka, tapi tidak sepertimu juga yang selalu membaca ulang.”

Aku tertawa mendengar penuturan Rara.

Ya, hobi kami memang sama. Membaca. Walaupun hobi membacanya Rara baru muncul setelah bertemu denganku. Aku masih ingat, dia pernah memberitahuku jika sebelumnya tidak terlalu suka dengan kegiatan membaca, terutama membaca novel. Rara lebih menyukai komik ketimbang novel. Menurutnya, cerita di dalam komik lebih menarik dibandingkan cerita yang disajikan pada novel. Namun setelah dia berteman denganku, minat dalam membacanya semakin meningkat. Dan aku merasa senang karena akhirnya kami mempunyai hobi yang sama. Walaupun diawali dengan membaca buku-buku fiksi terlebih dahulu, tapi menurutku itu sudah cukup sebagai awalan menyukai dunia membaca.

“Oh ya, pulang sekolah nanti kau ada kegiatan tidak?” Rara bertanya kembali, kali ini nampak lebih antusias.

“Mmm... paling hanya belajar bersama Erland.” Aku mengedikkan bahu.

“Kalau itu aku tahu! Maksudku, kegiatan yang lainnya, tidak ada kan?”

“Tidak ada, memangnya kenapa?” kedua alisku menyatu.

“Pergi ke toko buku bersamaku, kau mau?”

“Lalu bagaimana dengan kegiatan belajarnya? Kalau kita pergi ke toko buku setelah belajar bersama, jelas akan memakan waktu banyak, Rara, sudah deh ke toko bukunya nanti-nanti saja.”

“Kita tidak perlu ikut belajar bersama hari ini, gampang kan? Kamu bilang ke Erland saja, Olin, jika hari ini kamu dan aku akan ke toko buku dan tidak bisa ikut belajar bersama.”

Setelah mendengar penuturan Rara yang cukup panjang, aku merenung sejenak. Ide Rara tidak buruk juga. Tapi, aku juga harus belajar lebih banyak lagi tentang materi yang belum kupahami. Terutama pelajaran matematika. Pasalnya ujian akhir semester semakin dekat, mungkin tinggal hitungan hari. Dan setelah itu akan dilanjut dengan ujian praktek—untuk kelas dua belas.

“Olin, bengong!”

Aku mengerjapkan mata beberapa kali—sedikit terkejut karena kalut dalam lamunan. “Tapi...”

“Olin, penulis favoritmu baru saja menerbitkan buku baru pada minggu kemarin. Apa kamu tidak ingin membeli bukunya? Kudengar dari sepupuku, ceritanya menarik lho!”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang