11. Kejutan

112 14 1
                                    

Apa pun keputusannya nanti, hidup harus tetap berlanjut sebagaimana mestinya.

°
°
°

Hari ini, aku ada janji bertemu dengan Rara di kedai kopi yang pernah aku kunjungi bersama Erland dua bulan yang lalu. Entah, kenapa tiba-tiba Rara mengajakku bertemu di luar seperti ini. Tidak seperti biasanya saja.

“Kiri, Bang!”

Mini bus yang aku tumpangi berhenti— menepi ke sebelah kiri. Setelah benar-benar berhenti dan aku sudah membayar ongkos, kemudian aku keluar dari mini bus. Dan berjalan menuju kedai yang letaknya lima puluh meter di depan sana.

Sebenarnya yang mengusulkan untuk bertemu di kedai ini adalah aku. Bukan karena teringat pertemuanku waktu itu bersama Erland. Hanya saja, suasana di kedai ini dapat membuat pikiranku tenang. Dengan pengunjung yang masih dapat dihitung oleh jari tangan, aku bisa berlama-lama di sini walau hanya dengan melamun.

“Hai, Ra!”

Rara mendongakkan kepalanya. “Hai, Olin!”

Aku sedikit bingung melihat penampilan Rara hari ini yang lebih rapi dari hari-hari biasanya. Dengan kaos putih polos dan luaran berwarna cream, serta celana panjang berbahan katun berwarna senada dengan luaran yang dia pakai.

“Kau menunggu sudah lama?” tanyaku.

“Lama sekali! Beruntung aku tidak lumutan gara-gara lama menunggumu!”

Seperti biasa, Rara selalu berlebihan dalam berbicara.

Aku mendengus samar. “Ada apa kau mengajakku ke luar hari ini?”

Refreshing. Supaya pikiranmu tidak jenuh. Walaupun hanya pergi ke kedai kopi, tapi ini sangat membantu menyegarkan pikiranmu.”

“Lalu, kenapa penampilanmu rapi begitu kalau hanya pergi ke kedai kopi?” aku memutuskan bertanya perihal penampilan Rara hari ini.

“Ah ya, aku baru membelinya. Dan ingin segera memakainya.” Rara tertawa kecil.

“Bukan sosok Rara yang kukenal.”

Rara nyengir lebar. “Ternyata kau benar-benar memperhatikanku.”

Aku mendecak sebal. “Katakan saja yang sebenarnya! Kau itu selalu membuatku—”

“Mas! Tolong ke sini sebentar!”

Aku melotot. “Apa yang akan kamu lakukan lagi, Rara?” tanyaku— gemas sendiri melihat Rara yang selalu mengulur jawaban atas pertanyaanku.

“Memesan minuman. Apa kau tidak haus setelah mengoceh panjang lebar seperti itu?”

Aku membuang napas kasar. Tidak menjawab pertanyaannya.

“Iya, Mbak. Mau pesan apa?” tanya pelayan itu setelah sampai di meja kami.

“Es kopi susu satu. Lalu— hei, Olin! Kau mau pesan apa?” tanya Rara sembari menyenggol lenganku.

“Samakan saja denganmu.” Jawabku dengan malas.

Rara yang melihat tingkahku, sepertinya sedang menahan kesal. Ah, biarkan saja! Salah sendiri sudah membuatku penasaran.

“Jadi, es kopi susunya dua, Mas.”

“Baik, apa ada lagi yang mau dipesan?” pelayan itu bertanya untuk yang ke dua kalinya.

“Itu saja dulu, Mas. Dan, maafkan sikap temanku yang menyebalkan ini, maklum saja sedang patah hati.”

Pelayan itu tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Kalau begitu, saya buatkan pesanan untuk kalian dulu. Permisi!” pamitnya.

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang