Malam ini, aku menemukan sebuah kebahagiaan baru yang sangat sederhana. Menatap bagaimana cekatannya dia bekerja, membuat hatiku menghangat. Ternyata, di balik sosok menyebalkannya, Erland adalah lelaki yang pekerja keras. Dia tidak mengeluh tentang kehidupan sehari-hari yang dijalaninya selama ini.
"Erland, tolong bawakan pesanan ini ke meja nomor dua!"
"Baik!"
Tak butuh waktu lama, seruan yang lainnya menyusul.
"Erland, tolong buatkan coffee latte untuk laki-laki berkacamata di bangku pojok!"
"Sebentar, Kak!"
Aku menatap sosoknya yang bolak-balik mengantarkan pesanan dan membuatkan kopi untuk pengunjung selama dua jam terakhir. Sesekali, dia akan menatapku yang duduk sendirian di bangku dekat jendela- dan tersenyum. Aku membalasnya dengan senyuman terbaik seraya mengacungkan jempol.
"Kau sudah lihat kan, bagaimana Erland bekerja?"
Aku menoleh. "Kamu-"
"Aldi. Kau sudah tahu namaku, kan?" laki-laki itu terkekeh.
Aku mengangguk. "Kenapa menghampiriku? Kamu tidak ikut bekerja?"
"Kalau sudah ada Erland, kenapa pula aku harus ikut bekerja? Dia akan menangani semuanya." Aldi mengangkat bahu seraya mendaratkan pantatnya pada kursi kosong yang berada di depanku.
"Tetap saja, kamu juga seorang pekerja di sini. Dan tugasmu adalah bekerja. Kamu harus bertanggung jawab."
Aldi tertawa. "Aduh, kenapa kau menganggapnya serius begitu? Aku hanya ingin mengambil napas sejenak. Seharian aku sudah melayani para pengunjung. Dibandingkan denganku, Erland lebih enak. Dia baru masuk bekerja setelah menghabiskan waktu kencan bersamamu."
Aku mendengus samar. "Kami berdua hanya jalan-jalan biasa, bukan kencan."
"Gengsimu tinggi juga, ya."
Aku melotot. "Hei! Tapi, itulah kenyataannya!"
"Saat tahu wujudmu yang seperti ini, aku pikir selera Erland boleh juga."
"Selera? Selera apa yang kau maksud?"
Aldi mengibaskan tangannya di depanku, kemudian beranjak dari tempat duduknya. "Sudahlah, aku mau kembali bekerja," ujarnya- tanpa menjawab pertanyaanku.
"Cih! Dasar laki-laki menyebalkan!" gumamku setelah sosok Aldi menjauh dari pandanganku.
"Siapa yang menyebalkan?"
Aku melotot- terkejut. "Lho! Erland?! Bukankah tadi kau masih membuat kopi?"
Erland tertawa. "Sudah selesai."
Aku manggut-manggut, mengerti.
"Nah, jadi siapa yang kau tadi sebut menyebalkan?"
Aku mendengus. "Siapa lagi kalau bukan temanmu!"
"Ya, maklumi saja. Sikapnya memang begitu," ujarnya.
Aku mengangkat bahu. Lalu, menyeruput kopi yang sudah dingin di hadapanku yang kupesan saat baru tiba di kedai ini.
"Kamu mau pulang sekarang?" Erland bertanya.
"Memangnya kau sudah selesai bekerja? Kalau belum, selesaikan dulu! Aku akan menunggumu."
"Sudah. Sebentar lagi kedainya akan tutup, mungkin lima belas menit lagi. Lagipula ini sudah larut, kamu pasti kelelahan."
Aku menghela napas cukup panjang. "Ya sudah, terserah kau saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Erland [END]
Romance"𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚝𝚞𝚕𝚞𝚜𝚊𝚗, 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚎𝚛𝚙𝚊𝚔𝚜𝚊𝚊𝚗." -𝑫𝒆𝒂𝒓 𝑬𝒓𝒍𝒂𝒏𝒅, 2021 *** [Follow dulu sebelum baca!] Highest Rank in 2022: #1 truestory (16-18 Juli 2022) Started : 26 April 2021 Finished: 07...