20. Tak Sengaja

75 15 0
                                    

“Kenapa Erland memilih untuk tidak bekerja di sini lagi?” aku bertanya, sedikit was-was menunggu jawaban dari Aldi.

“Aku tidak tahu alasan khususnya. Lagipula, akhir-akhir ini dia sering mengajukan izin ke atasan. Entah apa yang dilakukannya selama izin, aku tidak tahu.” Aldi yang duduk di hadapanku—menjelaskan dengan raut wajah murungnya.

“Sudah berapa lama Erland bekerja di kedai ini?” aku mengajukan pertanyaan lagi untuk laki-laki itu.

“Kurang lebih sudah empat tahun dia bekerja di sini. Dan, selama itu pula para pegawai mau pun atasan—tidak tahu bagaimana latar belakangnya. Termasuk aku,” Aldi mengusap wajahnya pasrah. Lalu, “Dulu, kedai kopi ini tidak seramai sekarang pengunjungnya. Pegawainya pun hanya satu~dua orang. Hingga suatu hari, datang anak laki-laki berusia enam belas tahun melamar pekerjaan di sini. Awalnya, Bos kami ragu karena yang melamar pekerjaan masih berstatus pelajar SMP. Namun, sebagai percobaan, Bos menyuruh Erland untuk bekerja setengah hari selama satu minggu.”

Aku diam, menyimak cerita dari Aldi. Soal Erland yang mencari pekerjaan sejak usianya masih sangat muda, ternyata bukan bualan semata. Laki-laki itu memang pernah bercerita kalau dirinya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, juga kebutuhan sekolah adiknya. Karena Erland saat SMA merupakan murid beasiswa, maka selama bersekolah dia tidak dikenakan tanggungan biaya sepersen pun.

“Hingga akhirnya dia diterima sebagai pegawai tetap di kedai ini. Tapi, saat itu Erland meminta satu hal kepada atasan kami supaya dia tetap bekerja setengah hari saja—dan itu pun tidak setiap hari. Bahkan, dia rela gaji yang diterimanya berbeda dengan pegawai lain. Setelah menjadi pegawai tetap, Erland hanya bekerja empat kali dalam satu minggu. Dia beralasan kalau tiga hari lainnya digunakan untuk fokus belajar.”

“Gara-gara ceritamu, aku semakin penasaran dengan kehidupan Erland.” Sekar menceletuk. “Walaupun aku hanya orang asing di hidup Erland, tapi rasa penasaranku terhadap dirinya semakin memuncak setelah mendengar cerita darimu dan si Gendut itu.” lanjutnya.

Aku yang mendengar itu, hanya menyeringai tipis. Sementara laki-laki yang duduk di hadapanku—tertawa kecil.

“Erland itu memiliki kepribadian yang tertutup dengan orang baru. Apalagi sebelum mengenal Olin.” Aldi menatapku sekilas, lalu. “Bahkan, aku berusaha sangat keras agar bisa akrab dengannya.”

“Memangnya setelah mengenal Olin, kepribadian Erland berubah?” tanya Sekar, ekspresinya terlihat sangat serius jika dibandingkan ketika dia menyimak materi Linguistik di kelas.

“Sedikit. Tapi, perubahannya terlihat sangat nyata bagiku.” kata Aldi.

Sekar yang duduk di sebelahku, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Coba kau ceritakan lagi.”

“Hei, kalau aku terus bercerita, nanti waktu kerjaku terbuang percuma gara-gara kalian.” Aldi misuh-misuh, “Memangnya kau mau menambah gajiku?”

Sekar mendengus keras. “Kau ini pelit sekali. Ayolah, lanjutkan cerita tentang si Kalem itu.”

Aldi menggelengkan kepala kuat-kuat. “Tidak mau.”

Sekar berdecak, “Ah, dasar barista abal-abal yang menyebalkan! Aku kan hanya ingin mendengar ceritanya lagi.”

Sontak, Aldi beranjak dari posisi duduknya. Wajahnya memerah, menahan kesal.

“Kau ini, kenapa seenaknya memaksa kehendak orang lain, sih?! Sudah kubilang kalau aku tidak mau.”

Sekar mengernyit tak suka. “Kenapa kau malah nyolot?! Memangnya tidak boleh kalau aku ingin mendengarnya lagi?”

“Tidak. Dan jangan memaksaku lagi.”

Perempuan itu mendecih sarkas. “Cih! Aku tidak memaksa tuh.”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang