24. Bertemu untuk Berpisah

187 13 0
                                    

Note:
Play mulmed-nya sampai akhir cerita, biar makin nge-feel.

———


Pukul 19.15.

Tempat makan yang kami datangi tidak jauh dari tempat diadakannya pameran budaya. Mungkin hanya berjarak satu~dua kilo. Jadi, aku dan Marley tidak membutuhkan waktu lama dalam menempuh perjalanan. Paling hanya butuh waktu sepuluh menit jika ditempuh dengan kecepatan normal.

“Kau mau pesan apa, Olin?” Marley bertanya kepadaku, setelah mendaratkan tubuhnya di atas kursi.

“Samakan saja dengan pesananmu.” Jawabku.

“Samakan semuanya?”

Aku mengangguk. Yah, daripada lama memilih makanan dalam buku menu—dan itu hanya membuang waktu, lebih baik pesananku samakan saja dengan pesanan milik Marley.

Selagi Marley sibuk dengan pelayan yang sedari tadi menunggu catatan pesanannya, aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

Pengunjung yang datang ke tempat makan ini tidak terlalu banyak, pun tidak sedikit. Selain itu, terdapat dua orang lelaki berpakaian rapi yang sedang memainkan biola di bagian tengah ruangan. Menambah ke-syahdu-an malam yang hangat ini.

“Kau suka tempatnya?”

Pertanyaan mendadak dari Marley membuatku kembali tersadar dari lamunan.

“Tentu. Dekorasi klasik dan suasana yang menenangkan. Itu kesukaanku,” jawabku, disertai senyuman lebar.

“Oh syukurlah kalau kau suka. Aku kira pilihanku tidak tepat.” Ucapnya, seraya terkekeh. “Mm... Olin, kira-kira kapan ayahmu akan pulang?”

“Eh? Kapan ayahku pulang? Apa pertanyaanmu tidak salah?” aku mengernyit, heran.

“Sama sekali tidak, tuh.” Marley mengedikkan bahu.

Ini cukup aneh. Kenapa tiba-tiba Marley menanyakan perihal kepulangan Ayah?

“Kalau kau tidak mau menjawab, ya sudah. Tidak perlu dipikirkan.”

“Bukannya tidak mau, tapi, aku memang tidak tahu kapan Ayah pulang. Ayah lebih suka pulang mendadak tanpa mengabariku terlebih dulu.”

Marley manggut-manggut, mengerti. “Ah, baiklah. Mungkin waktunya belum tepat.”

Sempurna setelah Marley melontarkan kalimatnya, makanan yang kami pesan telah tersaji di meja kami. Sebenarnya, kalau saja makanan yang kami pesan belum dihidangkan, aku ingin bertanya lebih jauh apa tujuan Marley menanyakan soal Ayah. Tapi, sepertinya aku harus mengurungkan niat itu.

“Silahkan dinikmati hidangannya.” Kata seorang pramusaji yang mengantarkan makanan untuk kami.

Aku mengangguk, “Terima kasih.”

Pramusaji itu balas tersenyum anggun, kemudian melenggang pergi dari hadapanku.

Setelah kepergian pramusaji tadi, kami langsung menyantap makanan yang telah dihidangkan di atas meja.

Aku memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut—dan mengunyahnya. Kegiatan itu terus berlangsung selama lima belas menit kedepan tanpa diselingi pembicaraan apa pun. Yah, hanya ada suara denting sendok dan garpu. Juga iringan biola yang dimainkan oleh dua laki-laki berseragam rapi di tengah ruangan.

“Maaf sebelumnya. Tapi, apa boleh aku bertanya sesuatu kepadamu, Olin? Mungkin, sesuatu ini sedikit sensitif untukmu.” Marley membuka suara setelah makanan miliknya sudah habis tak bersisa.

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang