21. Tapi, kenapa?

69 15 0
                                    

Aku pikir, bagian ini akan menjadi akhir dari kisahku dengannya.

Tapi, ternyata aku salah.

Karena sebetulnya masih ada kebenaran yang belum aku ketahui tentang dirinya.

Kebenaran yang nantinya akan membuat penyesalan dalam hidupku.

———

“Namanya Tari. Dia teman lamaku.”

Deg!

Entah bagaimana aku harus merespon saat mendengar Erland memperkenalkan teman lamanya. Ah, apa aku harus bahagia? Tapi, bahagia untuk apa? Tidak akan ada kebahagiaan setelah aku melihatnya secara langsung. Atau aku harus sedih? Tapi, untuk apa aku sedih? Toh, Erland juga bukan milikku. Terserah dia ingin bersama siapa.

“Aku senang akhirnya Erland punya banyak teman.” Perempuan itu tersenyum ramah. Kemudian, dia mengulurkan tangan kanannya di hadapanku. “Aku Tari, senang bertemu denganmu, Olin.”

Aku mengangguk patah-patah, lantas membalas uluran tangannya.

Setelah berjabat tangan selama beberapa detik, Tari melepas tangannya perlahan. Begitu juga denganku.

Oh, God! Kenapa suasananya menjadi sangat canggung seperti ini? Sungguh, aku tidak pernah mengira akan bertemu langsung dengannya hari ini juga.

“Apa ini rumahmu, Olin?” tanya perempuan itu.

Aku menggeleng pelan. “Bukan.”

“Ah, aku kira rumahmu. Kalau saja tebakanku benar, aku ingin bermain di rumahmu jika kau mengizinkan.” Kekehnya.

Aku tersenyum kikuk. “Boleh saja, nanti kuberitahu alamat rumahku.”

Perempuan itu tersenyum lebar, membuat lesung di kedua pipinya muncul. Ah, manis sekali wajahnya. Padahal, baru pertama kali bertemu denganku, tapi, sangat ramah. Beda jauh denganku yang kaku jika dihadapkan dengan orang baru.

 “Wah, kalau bisa sih, sekarang. Supaya nanti, aku dan Erland bisa langsung ke sana.”

Aku menyeringai tipis. Tak membalas kalimatnya lagi.

“Astaga, Olin! Anak-anak di sana sudah menunggu hadiah mereka. Kenapa kau malah—eh, Erland?! Sejak kapan kau di sini?”

Mendengar suara cempreng milik Sekar, sungguh aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku yang teramat.

“Ya ampun, Sekar! Kau ini senang sekali mengagetkanku.” Aku refleks mengelus dada. “Lagipula, memangnya Rara dan Kent sudah selesai membungkus isiannya?”

“Olin, kenapa kau tidak bilang Erland datang ke sini?” Sekar bertanya balik, mengabaikan pertanyaan dariku. “Dan lagi, bukankah kau perempuan yang saat itu di kampus bersama Erland?” Sekar gantian menatap Tari.

Kedua alisku menyatu sempurna. Perempuan yang saat itu di kampus bersama Erland? Apa maksud Sekar? Dan, kapan Tari berkeliaran di kampus kami bersama Erland?

“Kau... Perempuan tidak jelas yang menampar Erland tiga bulan lalu?” Tari memicingkan matanya ke arah Sekar. Raut wajah ramahnya, perlahan menghilang.

“Tunggu, tunggu. Apa maksudmu? Sekar menampar Erland?” tanyaku, semakin bingung dengan topik percakapan yang sedang berlangsung.

Tari mengangguk kuat-kuat. “Iya! Perempuan ini yang menampar Erland saat di kampus tiga bulan lalu. Aku tidak tahu kalian ada masalah apa, tapi, tidak bisakah kalau kau tidak menggunakan kekerasan? Apalagi kau seorang perempuan, setidaknya kau bisa menjaga sikapmu di tempat umum.”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang