6. Tentang Erland

149 26 0
                                    

Mengapa semenjak kehadiran Erland, hidupku semakin dibuat rumit olehnya? Astaga! Laki-laki itu benar-benar menyebalkan. Tidak seharusnya aku menanggapi tindakannya waktu itu supaya tidak terjadi hal-hal sedemikian rupanya. Tapi... ah sudahlah! Nasi sudah menjadi bubur. Semakin dipikirkan malah semakin rumit. Persis seperti matematika.

“Kudengar, kamu habis bertemu dengan Rangga. Benarkah?”

“Ya, hanya sebentar di perpustakaan. Lalu, tiba-tiba Erland datang dan mengomeliku setelah keluar dari perpustakaan.” Aku berkata dengan menahan rasa kesal yang bergejolak di hatiku.

Rara tertawa, dan itu membuatku semakin kesal. “Kamu benar-benar tidak peka, Olin. Erland mengomelimu karena dia cemburu melihat kamu bersama Rangga.”

Aku mendecih samar. “Erland bukan siapa-siapaku! Dia tidak punya hak atas itu!”

“Ah, dasar kepala batu! Olin, asal kamu tahu, Erland menganggap Rangga sebagai saingannya untuk mendapatkanmu.”

Aku mengibaskan tanganku di depan wajah Rara. “Itu tidak mungkin. Argumen milikmu selalu terdengar aneh, sama anehnya dengan dua laki-laki itu. Aku tidak ingin mendengarkan argumen milikmu lagi.”

Rara yang mendengarkan ocehanku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Itu adalah fakta, Olin, karena dari dulu Rangga menyimpan rasa kepadamu.”

Rasa apa? Jikalau dia menyimpan rasa benci kepadaku, aku akan percaya. Karena dari dulu Rangga selalu begitu. Tapi, jika perasaan yang lainnya...

Ah, kau memikirkan apa sih, Olin!

“Kamu berbicara omong kosong lagi, Ra!”

“Aku tahu, kamu sulit untuk mempercayai Rangga lagi. Tapi, aku tahu betul perasaan Rangga terhadapmu itu bagaimana, Olin. Diam-diam, dia selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Dan kamu tidak menyadari hal itu, karena kamu selalu sibuk dengan duniamu sendiri. Dan dia, selalu menanyakan tentangmu kepadaku. Aku minta maaf baru memberitahumu persoalan ini.”

Rangga, apa benar yang dikatakan Rara? Aku bingung, sungguh. Aku bingung dengan ketidakjelasan ini. Aku bingung denganmu. Jika benar yang dikatakan Rara, mengapa dulu kamu begitu kejam denganku? Ada apa sebenarnya denganmu, Rangga? Aku tidak ingin dibuat kebingungan olehmu lagi. Sama sekali tidak ingin.

***

“Ayo pulang bersamaku!”

Aku diam. Menatap uluran tangan Erland yang ingin mengajakku pulang bersamanya.

“Olin?”

“Y-ya?”

“Melamun terus! Apa sih yang sedang kamu pikirkan?” Erland bertanya sembari menatap wajahku dengan jarak yang cukup dekat.

Buru-buru aku menjauhkan wajahnya dengan telapak tanganku. “A-aku tidak memikirkan apa-apa. Ya sudah, ayo pulang saja!”

“Kamu tidak pandai berbohong. Masih memikirkan Rangga?”

Hah? Dari mana dia tahu? Apa dia cenayang?

“Aku... hanya memikirkan kalimat Rara saat sebelum jam tambahan dimulai.”

“Lalu?”

“Ya, aku hanya memikirkan. Itu saja!” aku berkata ketus, mencoba untuk tidak memaki laki-laki yang berdiri di depanku sekarang.

Tiba-tiba langkah kaki Erland berhenti, dan langkah kaki-ku pun ikut berhenti. “Aku ajak ke suatu tempat, mau?”

Aku sedikit mendongakkan kepala, menatap wajah Erland yang berdiri di depanku. “Ke mana?”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang