17. Hati yang Kebingungan

67 13 0
                                    

Halo, selamat membaca!
Jangan lupa vote cerita ini, ya<3

~~~

Menyesal karena telah menyia-nyiakan seseorang yang begitu tulus mencintaimu. Kalimat itu mungkin benar. Tapi, tidak sepenuhnya. Apakah jika aku tidak mencintainya, aku akan tetap menyesal? Kalau iya, untuk apa aku menyesalinya? Toh, aku tidak mencintainya juga. Jadi, tidak ada alasan aku untuk merasakan penyesalan.

"Mungkin, saat ini kamu belum merasakannya. Tapi, nanti. Ketika kamu sadar tentang perasaan yang selama ini kamu bungkus dengan rapi, jauh di lubuk hatimu. Yang tidak mau kamu akui, bahkan kepada diri kamu sendiri." Rangga berkata, setelah beberapa menit keheningan menyelimuti meja kami.

Aku mendecak pelan. "Sudah kukatakan, kalau aku tidak memiliki perasaan apa pun untuk Erland. Sampai kapan kamu dan orang lain mengira kalau aku mencintainya? Itu salah, Rangga. Bagiku, itu sangat salah."

"Mulutmu berkata demikian, tapi tidak dengan matamu. Asal kamu tahu, kalau sorot matamu menjelaskan semuanya."

"Bisa saja yang kamu lihat dari mataku itu salah."

Rangga mendengus kasar. "Astaga, aku sudah mengenalmu selama enam tahun. Dan, kamu masih tetap berusaha untuk menutupi semuanya dariku. Olin, katakan yang sejujurnya sebelum terlambat. Aku tidak mau kamu menyesal gara-gara kamu-"

Prang!

Sontak, aku dan Rangga menoleh secara bersamaan ke sumber suara. Para pegawai kedai berlarian menuju dapur- sumber kekacauan itu terjadi. Dua~tiga pegawai tetap di ruangan ini, meminta maaf kepada pengunjung karena merasa tidak enak telah menganggu kenyamanan mereka.

Satu dari pegawai yang masih di ruangan ini, menghampiri meja kami. Dan pegawai itu adalah Aldi. Laki-laki yang selalu mengangguku setiap berkunjung di kedai ini.

"Kalian berdua pulanglah," ujarnya, dengan ekspresi wajah yang ganjil. Ekspresi ini sangat berbeda dengan ekspresi sore tadi- ketika menyapaku yang baru saja tiba di kedai.

Aku mengernyit, lantas menatap Rangga- yang juga sedang menatapku penuh kebingungan. "Eh, kenapa kami harus pulang?" tanyaku, kepada Aldi.

"Kedai ini akan tutup lebih cepat. Pengunjung yang lain juga akan kami pulangkan." Aldi menghela napas. "Aku minta maaf atas kekacauan yang disebabkan oleh salah satu karyawan kami."

Rangga beranjak berdiri. "Tidak masalah. Lain kali lebih hati-hati lagi."

Aldi mengangguk. Namun, sebelum laki-laki itu pergi mengingatkan pengunjung lain, mulutnya nampak menggumamkan sesuatu kepadaku. Cepat sekali, sampai aku tidak bisa menebak kalimat yang dia gumamkan.

Saat aku hendak menahan lengannya, laki-laki itu sudah berlari kecil menuju meja yang lain. Aku membuang napas perlahan, lantas menarik kembali tanganku yang tadinya terulur.

"Kenapa, Olin?" Rangga bertanya, tanpa aku sadari dia memperhatikan gerak-gerikku.

Aku menggeleng, "Tidak. Ayo pulang!" ucapku, seraya beranjak dari tempat duduk.

Tidak mungkin kalimat yang digumamkan Aldi tadi adalah...

"Kau kenal dengan pegawai tadi, Olin?" Rangga bertanya lagi, ikut menyejajari langkahku.

Aku mengangguk, mengiyakan.

"Itu artinya kamu sering datang ke sini, benar?"

"Tidak juga."

"Ah, aku kira begitu. Omong-omong, kedainya enak. Kapan-kapan aku akan ajak Aina ke sini." Rangga tertawa kecil.

Aku menyeringai, ikut tertawa kecil. "Apa pacarmu tidak akan marah kalau dia tahu kamu dekat denganku?"

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang