“Sulit? Maksudmu, sulit bagaimana?” tanya Rangga, kedua matanya menatapku lekat. Ekspresi wajahnya terlihat kebingungan.
“Kenapa kamu baru mengatakan perasaanmu yang sebenarnya kepadaku? Kau tahu, dua tahun aku mati-matian memendam perasaanku untukmu. Dua tahun aku berusaha keras mencabut perasaan itu hingga ke akar-akarnya. Tapi kamu—”
“Perasaan untukku? Perasaan apa, Olin? Aku tidak mengerti.”
“Aku mencintaimu! Dua tahun lamanya aku mencintaimu! Tapi, perbuatanmu dan teman-temanmu waktu itu, telah menghilangkan seluruh rasa yang ada. Kamu menghancurkannya sendiri, Rangga!” aku mengatakannya dengan penuh penekanan, perasaan kesal tiba-tiba muncul di hatiku. Bergejolak layaknya api yang membakar habis seluruh kota. Perasaan kesal, penyesalan, dan marah— bercampur menjadi satu. Tak bisa kukendalikan.
Dengan pandangan mata yang masih menatapku lekat, dia berbicara. “Aku takut kamu pergi setelah aku mengatakannya.”
“Tapi sekarang kamu mengatakannya! Itu tidak menutup kemungkinan jika aku akan pergi darimu, Rangga! Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?! Setelah perasaanku untukmu telah sirna, kau baru mengatakan semuanya. Apa yang kamu harapkan dariku lagi?”
“Aku sadar, Olin. Dengan mengatakan seperti ini pun, tidak akan ada yang berubah di antara aku dan kamu.” Rangga diam selama tiga detik. Lalu, “Seandainya saja waktu itu aku mengatakannya, hal-hal buruk tidak akan terjadi dalam hidupmu. Dan seandainya saja waktu itu aku tahu betul perasaanmu terhadapku, kita tidak akan seperti ini.”
Aku membuang napas kasar. “Lalu, apa yang kamu harapkan setelah ini? Tidak akan ada yang berubah, kau tahu itu?”
Rangga mengangguk lemah. “Aku tahu, dan aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya saja kepadamu. Aku memberikan pengakuan meski pun terlambat, tapi tidak ada satu pun paksaan di dalam perasaan ini. Semuanya mengalir bagaikan aliran air sungai yang tenang. Namun, aliran air itu terlambat sampai ke muara. Maafkan aku, Olin.”
Aku menatap kosong jalanan yang lengang. Hampir tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Isi pikiranku terpecah, dan menjadi berantakan. Apa yang harus aku lakukan? Semuanya memang sudah direncanakan seperti ini oleh semesta. Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi untuk kejadian ini. Semuanya berjalan tanpa perkiraanku. Aku tak bisa melawan, karena ini sudah terjadi.
“Entahlah, apakah aku bisa memaafkan untuk permasalahan ini atau tidak. Tapi, ini bukanlah perihal mana yang salah dan mana yang benar. Bukan itu. Jadi, memaafkanmu bukanlah sebuah solusi untuk masalah ini. Itu semua sudah terjadi, mungkin dengan membiarkannya saja adalah hal yang tepat.” Aku terdiam sejenak, mengambil napas dalam-dalam. “Bukankah sebuah perasaan akan hilang sendiri suatu saat nanti? Jadi biarkan saja, begitu pun denganku.”
Seketika hujan turun dengan derasnya. Jika kuperhatikan, sejak tadi hampir tidak ada satu pun kendaraan umum yang lewat. Bagaimana aku pulang? Kenapa pula aku harus terjebak di sini bersama Rangga? Ah, benar-benar hari yang buruk.
Rangga duduk di sebelahku. Kedua tangannya, ia masukkan ke dalam saku jaket yang dikenakan. “Kau dengan Erland apakah ada sesuatu? Aku pikir, kalian berdua cukup dekat. Jadi, aku kira lebih dari teman.”
Aku mendengus geli. “Aku dengan dia hanya teman, bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu?”
Rangga menyeringai. “Kau menggantungkan perasaannya. Sebagai sesama laki-laki, jelas aku tahu kalau Erland sangat menyukaimu. Tapi, aku bertingkah seolah tidak tahu. Kenapa kamu tidak membalas perasannya?”
“Ini bukan urusanmu. Mau aku membalasnya atau tidak, hal itu tidak ada kaitannya denganmu.”
“Ya... Aku harap kamu tidak akan menyesal nantinya, Olin.”
![](https://img.wattpad.com/cover/241032250-288-k583380.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Erland [END]
Romance"𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚝𝚞𝚕𝚞𝚜𝚊𝚗, 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚎𝚛𝚙𝚊𝚔𝚜𝚊𝚊𝚗." -𝑫𝒆𝒂𝒓 𝑬𝒓𝒍𝒂𝒏𝒅, 2021 *** [Follow dulu sebelum baca!] Highest Rank in 2022: #1 truestory (16-18 Juli 2022) Started : 26 April 2021 Finished: 07...