2. Halte

505 30 0
                                    

“Papa udah jemput, aku pulang dulu ya! See you!” pamit Rara ketika melihat mobil ayahnya yang sudah terparkir tepat di depan gerbang sekolah.

Aku balas mengangguk. Rumahku dan rumah Rara memang berlawanan arah, jadi kami tidak bisa pulang bersama. Dan soal pembicaraan tadi, Rara tidak menanggapinya lebih jauh. Dia tahu batasan mengenai masalah yang menimpaku dulu. Dan aku pun lebih memilih untuk tidak membahasnya karena itu hanya akan membuat trauma masa laluku muncul.

Aku melihat jam yang melingkar pada tangan kiriku, ternyata sudah pukul setengah empat sore, tapi Pak Yusuf belum juga datang untuk menjemputku. Aku menghela napas samar. Atau naik mini bus saja ya?

“Sopirmu tidak akan datang.”

Aku menoleh. “Kamu?!” lalu melotot terkejut setelah tahu siapa yang sekarang berdiri tepat di sampingku.

Astaga! Ternyata Tuhan tidak mengabulkan do’aku. Lihatlah! Laki-laki aneh itu muncul kembali di hadapanku dengan senyum menyebalkan yang mengukir wajahnya. Sungguh, hari yang buruk.

“Tuhan lebih berpihak kepadaku, Olin!”

Dia berkata seolah tidak merasa berdosa sedikit pun. Ditambah dengan senyuman polosnya. Ya Tuhan! Aku benci senyuman itu!

“Tahu dari mana sopirku tidak datang?” Aku bertanya dengan nada menuntut.

“Tidak penting aku tahu dari mana. Coba saja hubungi dia kalau kamu tidak percaya padaku.”

Dengan tampang kesal, aku merogoh saku rok bagian kanan, mengambil ponselku. Lalu, segera aku tanya pada Pak Yusuf. Namun, sebelum jemariku mengetik satu-persatu huruf di atas keyboard, muncul satu notifikasi pesan. Dan itu dari: Pak Yusuf.

Maaf Nona. Saya tidak bisa menjemput. Mesin mobilnya tiba-tiba mati. Sekali lagi, saya minta maaf. Kerusakan pada bagian mesinnya parah, lebih baik Nona tidak perlu menunggu saya, karena akan memakan waktu lama.

Aku menghela napas pendek. Ada-ada saja!

“Sebenarnya kamu siapa, sih?” tanyaku, setelah memasukkan kembali ponsel ke dalam saku rok.

“Erland. Aku kira kamu sudah tahu.”

Aku mendengus kesal. “Aku memang tahu namamu. Tapi...ah sudahlah! Kenapa kamu tahu kalau Pak Yusuf tidak datang?”

“Hanya firasat.”

“Sekuat itu?”

“Mungkin.”

Lagi-lagi jawaban tidak pasti yang kudapat, kemudian aku membuang napas kasar. “Lalu kenapa kamu menyebalkan?”

Erland tertawa. “Jangan bilang seperti itu! Orang menyebalkan itu mudah untuk dicintai. Kalau suatu saat nanti kamu jatuh cinta denganku, bagaimana?”

“Itu adalah hal yang mustahil!”


***


Sudah lima menit aku menunggu mini bus di halte bersama Erland. Beruntungnya, laki-laki itu tidak banyak mengomel seperti tadi. Lagipula kalimat yang dia katakan tadi sebenarnya tidak perlu dipikir pusing. Aku tahu dia hanya bercanda. Tapi, kalau dia serius? Ah! Itu tidak mungkin. Aku dengannya baru saja bertemu. Tidak mungkin dia akan jatuh secepat itu.

“Selera lagumu sangat buruk!”

Aku tersentak kaget. “Buruk bagaimana?” tanyaku sembari melepas earphone yang tadi kukenakan.

“Aku tahu lagu itu, dan lagunya terdengar sangat mellow, cocok untuk orang yang sedang patah hati. Memangnya kamu sedang patah hati?”

Aku menggeleng pelan. “Tidak juga. Aku hanya ingin mendengar lagu kesukaanku.”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang