16. Bagian dari Jawaban

83 14 0
                                    

Keesokan paginya, sinar matahari menyiram lembut melalui jendela kaca kamarku. Aku mengernyitkan dahi, lantas secara perlahan membuka mataku. Aku baru ingat kalau semalam aku tertidur di atas kursi dengan kepala yang terjatuh di atas meja belajar.

Aku celingak-celinguk, mencari keberadaan Sekar. Entah di mana perempuan itu. Ketika aku baru membuka mata, sosok Sekar di atas tempat tidur sudah tidak ada.

“Astaga! Ini sudah pukul sembilan pagi, dan kamu baru bangun?!”

Mendengar bias suara itu, buru-buru aku menoleh. “Kau habis dari mana, Sekar?” aku bertanya balik, mengabaikan kalimat darinya.

“Mandi dan menyiapkan sarapan. Lalu... Ya Tuhan! Kenapa semalam kau tidak tidur bersamaku di kasur? Malah tertidur di kursi itu. Semalam kau terlelap jam berapa, heh?!”

Aku mendengus samar, lantas menguap. “Aku tidak tahu. Sudahlah, berhenti mengomeliku.”

Sekar hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku. “Kau cepatlah mandi! Setelah itu sarapan bersamaku di bawah.”

“Hei, kenapa kau yang mengaturku?” aku mengernyit. Pasalnya, ini kan rumahku— dan Sekar di sini berperan sebagai tamu. Tapi, kenapa jadi perempuan itu yang mengaturku?

Sekar mengedikkan bahu, tak acuh. “Aku hanya sedang memperhatikanmu, Olin. Seharusnya kau bersyukur memiliki teman yang peduli sepertiku.”

Aku membuang napas kasar. Sekar ini benar-benar merusak pagiku yang seharusnya indah. “Kau kembalilah ke dapur, aku mau mandi dulu.”

“Tapi, aku kan sudah—”

“Masak makanan lainnya, aku tahu kau pandai memasak. Perutku hari ini sangat lapar. Tidak cukup kalau hanya memakan roti.”

Sekar yang tadinya hendak protes, lantas menurut. Kemudian perempuan itu beranjak dari kamar tidur. Selagi Sekar sibuk di dapur, aku membersihkan tubuh. Tidak lama, hanya dua puluh menit. Lima belas menit untuk mandi, lima menit untuk berganti pakaian. Setelah itu, aku baru menuruni anak tangga. Menuju dapur.

“Wah, aromanya lezat sekali!” aku berkata, setelah tiba di dapur.

Sekar terkekeh, “Kalau aku yang memasak, sudah dipastikan orang lain akan tergiur dengan masakanku.”

Aku mendengus, menyeringai tipis.

“Makanan sudah siaaap! Silahkan dinikmati, Tuan Putri.” Sekar menyajikan makanan yang telah dimasaknya ke atas meja makan.

Aku yang masih berdiri di sisi meja sebelah kanan, memperhatikan makanan itu lamat-lamat. “Kau memasak apa, Sekar?” tanyaku, sedikit aneh dengan penampilan makanan yang telah dimasak Sekar.

“Ayam goreng mentega, kau pasti suka.”

Kedua mataku berbinar melihat makanan di depanku, seakan baru saja menemukan harta karun di padang pasir. “Kau tahu saja makanan kesukaanku. Walaupun penampilannya sedikit aneh, tapi semoga rasanya tidak mengecewakan.” aku tertawa.

Sekar menyeringai, “Lagipula, bahan makanan yang ada di lemari kulkas-mu hanya daging ayam dan beberapa sayuran. Daripada membuat sayur yang kurang aku sukai, mending aku mengolah daging ayam menjadi makanan super lezat ala Sekar.”

Aku terkekeh, “Terserah kau saja lah. Sudah, cepat makan. Cacing-cacingku mendadak tidak sabaran nih menunggu jatah makannya.”

Aku menghempaskan tubuh di atas kursi. Bersiap mengambil piring.

“Aneh,” Sekar menceletuk, dan itu membuat pergerakan tanganku terhenti.

Aku mengernyit, “Eh? Aneh kenapa?”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang