3. Teman

323 23 1
                                    

Hujan turun membasahi bumi pagi ini. Mungkin sudah memasuki musim penghujan. Maka dari itu, setiap pagi langit akan berwarna abu-abu dan menurunkan tetes demi tetes air. Terkadang, di setiap malam pun hujan akan turun lebih deras, menemaniku dalam kesunyian.

Ah, aku tinggal sendiri di rumah. Benar-benar sendiri. Ayahku sedang mengurus perusahaannya yang berada di luar kota. Ibuku? Dia sudah tiada. Dia telah pergi selama-lamanya saat umurku belum genap sembilan tahun. Pada saat itu, ayah benar-benar merasa sedih. Berbulan-bulan kami— aku dan ayah, tenggelam dalam kesedihan yang teramat. Tepat setelah satu tahun kematian ibu, ayah memutuskan untuk kembali menyibukkan dirinya dalam dunia pekerjaan. Dan aku pun kembali sibuk dengan sekolahku. Kehidupan kami kembali berjalan normal hingga saat ini tanpa adanya sosok malaikat tak bersayap yang selalu menyiapkan sarapan pada pagi hari.

Apa ayah memutuskan untuk menikah lagi? Iya. Setelah lima tahun kematian ibu, ayah memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Tapi, istri barunya tidak tinggal bersamaku. Hanya sesekali berkunjung ke rumah saat hari libur. Dia perempuan yang baik dan pengertian. Tapi, hingga saat ini aku belum terbiasa dengan perilakunya. Entahlah, aku masih canggung jika berhadapan dengannya. Rasanya berbeda. Tapi tenang saja, walaupun demikian, aku tetap menghormatinya.

“Saya minta maaf, Nona, kemarin tidak bisa menjemput.”

Kalimat yang keluar dari Pak Yusuf menyadarkanku dari lamunan.

“Tidak apa-apa, Pak, saya tahu. Apa mesin mobilnya sudah sempurna betul?”

“Sudah. Nona tidak perlu khawatir, nanti saat pulang sekolah, saya akan jemput.”

Sepertinya akan lebih menyenangkan jika pulangnya naik mini bus, kataku dalam hati.

“Pak, nanti pulangnya tidak usah dijemput.”

“Kenapa, Non? Tidak seperti biasanya.”

“Saya sedang ingin naik mini bus.”

“Kalau ayah Nona tahu, bagaimana? Saya tidak ingin membuat beliau marah.”

“Bapak tidak perlu melapor ke ayah saya, lagipula saya lebih senang jika menaiki kendaraan umum, buktinya saja kemarin saya pulang naik mini bus tidak terjadi apa-apa.”

“Baiklah, memang Nona akan naik mini bus dengan siapa?”

“Teman baru saya.”

***

“Olin, apa kamu sudah menentukan ingin melanjutkan kuliah di mana?”

Tanganku yang ingin memasukkan satu butir bakso ke dalam mulut, tertunda—karena pertanyaan yang keluar dari mulut Rara.

“Tumbenan kamu tanya begitu, seperti tidak ada topik pembicaraan lain saja.”

“Oh ayolah! Kita kan sudah kelas dua belas, apalagi ini juga sudah memasuki semester dua, otomatis kita harus memikirkan masa depan kita, Olin, jangan asyik bersantai melulu!”

“Iya, aku tahu. Tapi, aku sedang tidak ingin membahas hal itu.”

“Huh! Ya sudahlah, terserah kamu saja!”

Aku tertawa melihat wajah kusut Rara. Astaga! Temanku yang satu ini mudah sekali terbawa suasana.

“Kenapa tertawa, hah?!”

Tawaku terhenti sejenak. “Lucu saja melihat wajahmu yang kusut!”

Sebagai balasan, Rara melempar gulungan tisu ke arahku, dan lemparannya melesat jauh dari yang ia duga. Gulungan tisu itu malah mengenai salah satu dari segerombol murid laki-laki yang duduk di meja belakang kami. Beruntung laki-laki itu tidak menyadarinya karena sedang asyik bercakap-cakap dengan teman-temannya. Aku menjulurkan lidah ke arah Rara, bermaksud meledek karena lemparan tisunya tidak berhasil mengenaiku.

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang