15. Sesuatu yang Terlupakan

80 11 0
                                    

Apa yang akan aku lakukan? Dia bertanya, apa yang akan aku lakukan jika berada di posisinya? Hah, pertanyaan darinya benar-benar mengusik pikiranku. Tapi, kalau boleh jujur, tentu saja aku akan menyerah. Menyerah dengan segala ketidakjelasan yang terjadi jika aku benar-benar berada dalam posisi Erland.

Aku menghela napas, kemudian melahap makanan yang tersisa. Menatap kosong piring yang ada di hadapanku. Suasana canggung menyelimuti atmosfer di sekitar kami sejak Erland mengatakan kalimat yang tidak sepatutnya dia katakan di saat-saat seperti ini.

Rangga yang tidak tahu menahu soal ini, hanya menatap penuh kebingungan. Sesekali, laki-laki itu akan melirik ke arahku untuk meminta sebuah penjelasan. Tapi, aku sama sekali tak menggubrisnya.

“Setelah ini, tidak ada acara lagi, bukan?” aku bertanya kepada Rangga, setelah makanan di piring sudah benar-benar habis. Tak lupa juga meminum segelas es teh yang tadi dipesan oleh Rangga.

“Tidak ada. Kenapa? Kau mau ke kelas sekarang?”

“Iya... Dan ini jaket milikmu.” Kataku, seraya mengulurkan paper bag yang berisi jaket miliknya.

Rangga mengernyit, “Jaket?”

Aku mengangguk, “Kau meminjamkannya kepadaku sewaktu terjebak hujan di halte beberapa bulan yang lalu.”

Setelah berkata seperti itu, diam-diam aku melirik ke arah Erland yang sedari tadi membungkam mulutnya. Entah apa yang sedang laki-laki itu pikirkan? Aku sama sekali tidak mengerti. Semua yang keluar dari mulutnya itu... Menurutku sangat tiba-tiba. Dan aku paling tidak menyukai seseorang yang selalu mengungkit sesuatu yang telah berlalu.

Yang lebih aneh lagi, kenapa Erland tidak penasaran perihal jaket yang pernah Rangga pinjamkan kepadaku? Biasanya, laki-laki itu langsung memasang tampang kesal karena peristiwa yang terjadi di antara aku dengan Rangga. Tapi, ini tidak. Erland masih tetap diam tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.

“Padahal kalau tidak dikembalikan tidak apa, lho!” Rangga terkekeh. “Tapi, baiklah. Terima kasih,” ujarnya, sembari menerima uluran paper bag dari tanganku.

Aku menyeringai tipis, “Lagipula itu milikmu. Dan, maaf. Karena aku terlambat mengembalikan jaketnya.”

Rangga mengangkat bahu. “Tidak masalah.”

Aku beranjak dari kursi. “Kalau begitu, aku pergi dulu. Terima kasih atas traktirannya!” kataku, dan dibalas anggukan kecil oleh Rangga.

Kemudian, aku berjalan menjauh dari area kantin. Diam-diam aku merutuki Erland yang sama sekali tidak melirikku— bahkan ketika aku berlalu dari hadapannya. Astaga! Apa dia memang sekesal itu kepadaku? Tapi, kenapa dia yang kesal? Padahal sudah kukatakan jikalau aku tak menyukai Rangga lagi. Lagipula, apa yang sebenarnya dia takutkan? Toh, Rangga juga sudah memiliki pacar. Untuk apa lagi dia mengkhawatirkan hal-hal yang tidak pasti akan terjadi?

Aku membuang napas kasar. Astaga, benar-benar hari yang buruk! Aku sama sekali tidak menyangka dengan tingkah kekanak-kanakkan miliknya hari ini.

“Olin! Tunggu!”

Langkahku yang sedang menaiki anak tangga, mendadak terhenti ketika mendengar seseorang yang memanggil namaku dari kejauhan.

Aku membalikkan tubuh. “Rangga?” gumamku, ketika melihat Rangga yang sedang berlari mendekat ke tempatku berdiri.

Tapi, kenapa dia berlari-lari mengejarku seperti itu?

“Hah... Hah... Surat itu...” ujarnya, dengan napas yang tak beraturan— setelah tiba di hadapanku.

Aku mengernyit, “Surat?”

Rangga mengangguk.

Aku terdiam selama beberapa detik. Surat? Surat apa yang dimaksud oleh Rangga? Dan lagi, kenapa tiba-tiba sekali?

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang