23. Tidak Ada

84 15 0
                                    

Tak terasa, waktu bergulir sangat cepat. Hingga dua bulan berlalu dalam sekejap.

Kegiatan kuliah sudah kembali seperti biasa. Tugas-tugas kembali menjadi makanan sehari-hariku. Kondisi tubuhku juga sudah kembali seperti sedia kala. Aku keluar dari rumah sakit enam minggu yang lalu. Ditemani Bunda, Marley, Sekar, dan Rara.

Omong-omong, soal Rara. Berhubung libur kuliah sudah habis, minggu lalu dia kembali ke Yogyakarta. Aku dan Sekar yang mengantarnya ke stasiun. Kali ini, dia berangkat ke sana seorang diri. Mamanya tidak mengantarnya lagi.

Padahal, kalau saja Rara berkuliah di tempat yang sama denganku mau pun Sekar. Mungkin akan lebih seru. Tapi, tak apa lah. Toh, sejauh apa pun tempat Rara berkuliah, hal itu tidak akan pernah menjadi penghalang untuk hubungan pertemanan kami.

Baik, kembali ke situasi sekarang. Aku sedang bersama Marley di taman kampus—mengerjakan tugas. Iya, Marley. Aku sama sekali tidak salah menyebut nama. Sejak aku keluar dari rumah sakit, Marley menjadi lebih dekat denganku. Ke mana pun aku pergi, dia selalu ikut. Tak pernah absen sekali pun. Jangan tanyakan keberadaan Sekar. Karena sekarang, perempuan itu entah menghilang ke mana bersama Kent. Menyebalkan memang. Membuatku berada dalam situasi lebih canggung.

“Olin, setelah jadwal hari ini selesai, kau ada acara?” tanya Marley, membuatku tersadar dari lamunan.

“Mm... Tidak ada, sih. Kenapa?” aku mengernyitkan sebelah alis.

Sebelum menjawab, entah kenapa wajah Marley sedikit bersemu. Membuatku bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Marley?

“Ah, aku punya dua tiket ke pameran budaya. Yeah, memang aku sengaja membeli dua. Satu untukku, dan satu untukmu. Apakah kau mau pergi bersamaku setelah jadwal kuliah hari ini selesai?”

Aku membulatkan mata. “E-eh, a-aku? A-apa t-tidak s-salah?” tanyaku, terbata-bata.

Laki-laki itu mengusap rambutnya. “Tidak. Kau... Tidak mau, ya?”

Aduh, bagaimana aku harus menjawabnya? Bukannya tidak mau, hanya saja... Apakah ini sungguhan? Apakah Marley yang famous di kalangan mahasiswi kampus ini sedang berusaha mengajakku pergi dengannya? Tapi, kenapa aku yang diajak? Dari sekian banyaknya mahasiswa mahasiswi di sini, kenapa aku?

Oh, astaga! Alur kehidupan memanglah sulit ditebak.

“Olin, bagaimana? Kau mau atau tidak?” tanya Marley lagi.

Diam-diam, aku meremat jemariku yang mendadak basah karena keringat dingin. “Mm, oke. Aku mau,” jawabku.

Setelah mendengar jawabanku, laki-laki itu tersenyum lebar—dan mengepalkan tangannya. “Yes!”

Lagi-lagi dia membuatku kebingungan dengan tingkahnya hari ini. Tanpa kami sadari, ternyata sudah ada dua orang yang berdiri di belakang kami.

“Ehem! Ehem! Sepertinya kami datang di waktu yang tidak tepat. Benar bukan, Kent?”

“Eh!” aku menoleh, sedikit terkejut dengan hadirnya dua orang itu. “Sejak kapan kalian berdiri di sini?”

Sekar melipat kedua tangannya di depan dada. “Sejak Marley ingin mengajakmu ke pameran budaya.”

Ah, sial! Kenapa harus pada saat itu sih?!

“Ayo, Kent! Kita pergi ke pameran juga.” Sekar berujar lagi—menatap laki-laki di sampingnya, seraya menaik-turunkan kedua alisnya.

Kent yang menjadi sasaran Sekar, bergidik ngeri. “Aku tidak mau cari gara-gara dengan gebetanmu.”

Perempuan berambut itu melengkungkan bibirnya ke bawah. “Ah, kau ini sangat tidak asyik.”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang