4. Belajar bersama Erland

241 19 0
                                    

Pukul enam pagi, suasana di dalam rumah lengang. Itulah suasana yang selalu kudapatkan ketika pagi hari datang. Menyiapkan sarapan sendiri, membereskan tempat tidur sendiri, dan membersihkan rumah sendiri. Walaupun semua itu tidak harus dilakukan saat pagi. Tetap saja aku yang melakukannya seorang diri. Semua kegiatan itu sudah menjadi kewajiban bagiku selama enam tahun terakhir dan hari-hari berikutnya.

Tiga tahun setelah kematian ibu— ketika aku masih sekolah dasar, aku belum melakukan kegiatan itu semua. Waktu itu, adik dari ibu sempat mengurusku. Namun, waktu berjalan sangat cepat. Tiga tahun berlalu, adik ibu memutuskan untuk menikah dan kembali ke rumah orang tuanya— rumah kakek dan nenek. Dan aku pun tidak keberatan. Toh, dia mau mengurusku selama tiga tahun saja aku sangat bersyukur. Jangan tanyakan di mana ayahku, karena aku sudah menjelaskannya sebelumnya.

Hari berganti menjadi bulan, dan bulan berganti menjadi tahun. Aku rasa dengan hidup sendiri, tidak selalu menyeramkan. Hanya saja ada bagian sulitnya. Adalah ketika aku harus bisa membagi waktu antara mengurus rumah dan belajar. Ketika masih awal, aku memang cukup kesulitan. Bahkan, hampir setiap malamnya aku menangis. Menangisi takdir hidupku yang menyedihkan. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Satu tahun setelah adik ibu memutuskan menikah sekaligus tahun yang menurutku cukup berat— itu telah berlalu.

Tahun berikutnya, kejutan besar ternyata telah menantiku. Tepat lima tahun setelah kematian ibu, ayah memutuskan menikah. Saat itu aku pikir istri barunya akan tinggal bersamaku, namun dugaanku salah besar. Ternyata, dia sudah memiliki rumah sendiri— rumah peninggalan dari orang tuanya. Dia tinggal bersama anak laki-lakinya, hanya berdua. Dua bulan setelah menikah, ayah pergi bekerja ke luar kota lagi, mengurus perusahaannya yang sudah didirikan selama kurang-lebih sepuluh tahun.

Sampai sekarang, kasih sayang ayah padaku tidak berubah, dan ayah tetap menjadi seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab. Walaupun ayah jarang sekali pulang ke kota ini, hal tersebut tidak menjadi sebagai penghalang sikap tanggung jawabnya kepada kami. Ah, aku sangat rindu kepada ayah maupun ibu nun jauh di sana.

***

Lima belas menit berlalu, kuhabiskan dengan bernostalgia. Ah, rasanya ingin sekali memutar waktu dan menjadi anak kecil lagi.

Ketika aku sedang membetulkan posisi ransel di punggung, tiba-tiba  terdengar suara ketukan pintu. Jawabannya sudah bisa ditebak. Ya, memangnya siapa lagi yang akan mengetuk pintu rumahku pagi-pagi seperti ini selain Pak Yusuf? Tidak mungkin kurir paket mengantarkan barang sepagi ini.

“Ayo berangkat sekarang, Pak!” kataku setelah membuka pintu.

Dan benar saja dugaanku. Namun, ekspresi muka Pak Yusuf tidak seperti biasanya.

“Anu— ada temannya, Non. Dia nunggu di sana.” Pak Yusuf menunjuk ke arah pagar rumah.

Keningku mengernyit ketika melihat sesosok laki-laki yang sedang berdiri dengan santai di sana. Erland? Mau apa dia datang sepagi ini ke rumahku?

Kemudian, aku berjalan menghampirinya.

“Sedang apa kamu di sini?”

Erland menoleh. Rasa terkejutnya ketika melihatku tidak dapat ia sembunyikan dari gestur wajahnya yang kalem.

“Aku ingin mengajakmu berangkat ke sekolah bersama.”

Aku menghembuskan napas perlahan. “Kenapa tidak bilang kepadaku terlebih dahulu?”

“Hei! Aku sudah bilang semalam melalui pesan itu, kamu lupa?” Erland bertanya dengan raut muka yang sedikit kesal.

Pesan? Bukankah tidak ada pesan lagi yang dikirim olehnya?

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang