13. Berkunjung

84 12 0
                                    

Hari Selasa, pukul 08.00.

Aku berjalan melewati halaman kampus yang sangat luas. Banyak mahasiswa yang berhilir-mudik menuju kelas masing-masing. Ah ya, ini sudah memasuki minggu ke-empat selama aku berkuliah di sini. Lingkungan baru, teman baru, dan suasana baru. Cukup sulit untukku beradaptasi di sini. Tapi beruntungnya, aku memiliki satu teman di kelas yang cukup dekat denganku. Jadi, masa adaptasiku di sini dibantu oleh dia.

“Hai, Olin.”

Aku menghentikan langkahku, kemudian menoleh. “Oh! Hai, Sekar.”

Ya, akhirnya dia datang. Jadi, namanya Sekar. Perempuan berambut ikal dengan panjang sebahu. Tingginya sepantaran denganku, dan tubuhnya proporsional. Sekar identik dengan kulitnya yang berwarna sawo matang, juga bola mata yang legam.

“Kau sendirian? Mana laki-laki yang selalu bersamamu itu?” tanya Sekar, mencomot topik sembarangan di pagi hari.

Mendapat pertanyaan seperti itu, aku jelas tahu siapa laki-laki yang dimaksud oleh Sekar. “Eh, dia tidak ada kelas pagi.” Jawabku, sedikit kikuk.

Kemudian, kami berdua melanjutkan langkah kami yang tertunda menuju kelas yang berada di lantai tiga.

Sekar manggut-manggut, “Sebenarnya, dia siapa kamu? Pacar?” tanyanya, sembari menjajari langkahku.

Aku menggeleng kuat-kuat. “Bukan lah! Dia temanku.”

“Astaga, aku kira dia pacarmu.” Sekar tertawa.

Aku menyeringai sebal. Bisa-bisanya Sekar berpikiran seperti itu, apa karena aku dan Erland sering bersama di kampus— jadi banyak anak yang mengira kami adalah sepasang kekasih? Huh, benar-benar pemikiran yang aneh.

“Dia anak jurusan teknik, benar?” Sekar bertanya lagi.

Aku mengangguk. “Kenapa?”

“Biasanya, kalau anak jurusan teknik itu banyak yang suka. Terus, bisa jadi pacarnya juga banyak.”

Sebelah alisku terangkat sempurna. “Pacarnya banyak?”

“Ya... Itu sih kata orang-orang. Lagipula menurutku, temanmu sepertinya bukan tipikal laki-laki yang seperti itu. Tatapan matanya yang tenang, namun penuh teka-teki. Gestur wajahnya yang kalem, aduh! Kalau boleh jujur, temanmu itu lumayan tampan.”

Aku terkekeh. Apa dia sedang memuji Erland? Kalau benar begitu, aku kurang sependapat dengan pujiannya. Sekar belum tahu watak menyebalkan Erland. Jadi, dia hanya mengomentari hal-hal bagusnya saja. Lagipula, dia juga belum tahu namanya— ah bukan, lebih tepatnya aku yang belum memberitahu Sekar. Mereka berdua memang pernah bertemu sebelumnya. Tapi, karena ada hal mendesak, mereka berdua tidak sempat berkenalan. Dan, aku pun memutuskan untuk tidak memberitahu namanya dalam waktu dekat ini. Persoalan nama bisa diberitahu nanti-nanti. Dan lagi, Sekar tidak terlalu penasaran dengan nama. Perempuan itu hanya penasaran dengan hubunganku dan Erland.

“Kau sendiri, bagaimana? Apa tidak punya pacar?” kali ini, aku yang bertanya.

“Dengan penampilanku yang seperti ini, mana ada laki-laki yang mau jadi pacarku!” Sekar menggerutu, tiba-tiba kesal.

Aku tertawa melihat wajah kusutnya. “Tidak semua laki-laki memilih perempuan berdasarkan parasnya. Kau jangan terlalu pesimis!”

Sekar mendengus keras. “Kau enak, Olin. Wajahmu cantik, rambutmu bagus, pintar pula! Tidak ada laki-laki yang tidak menyukaimu.”

“Kamu berlebihan, Sekar. Aku hanya perempuan biasa.”

Yeah, kau selalu merendah untuk disanjung.”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang