Lima tahun kemudian. Di masa sekarang.
Aku memejamkan kedua mataku, seraya menghela napas cukup panjang. Semilir angin yang berhembus, membuatku betah berlama-lama di tempat ini.
“Sudah selesai?”
Mendengar bariton khas yang menyeruak pada indra pendengaranku, aku kembali membuka kedua mataku. Lalu, tersenyum. “Sudah,” jawabku singkat.
Seseorang itu kemudian mendaratkan tubuhnya di sampingku.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya, menatapku lekat.
Masih dengan senyuman yang terukir di wajahku, aku menjawab. “Sedang berusaha untuk baik-baik saja.”
Setelah aku menjawab demikian, seseorang itu tidak bertanya lagi. Dan, aku pun memilih untuk membungkam mulutku.
Langit senja membungkus kota. Lampu-lampu taman mulai dinyalakan. Para pekerja yang sedari pagi sudah melaksanakan tugasnya—bergegas pulang, diganti oleh pekerja lain yang kebagian shift sore hingga malam hari.
Aku duduk diam, menatap lalu lalang orang-orang di sekitarku. Notebook berwarna jingga itu masih setia berada di dalam genggaman tanganku. Notebook itu terbuka, dan menunjukkan halaman terakhirnya yang dipenuhi bercak air mata pada tulisannya.
Dengan perasaanku yang antah berantah, kubaca kembali seluruh kisah itu. Dari awal sampai akhir. Membiarkan perasaanku kembali luruh.
“Kalau kau belum siap pergi sekarang, kita bisa batalkan penerbangannya.” Ucapnya, membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh, “Tidak. Jangan batalkan. Aku sudah siap pergi sekarang.”
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Penerbangan kita satu jam lagi, lebih baik kita ke bandara sekarang.”
Aku menahan napas sejenak, dan menganggukkan kepala.
Seseorang itu tersenyum. Sebuah senyuman yang mampu menentramkan hatiku. “Kalau kau masih belum merasa tenang, ungkapkan saja. Aku akan mendengarnya, Olin.”
Aku menggeleng samar. “Membaca kembali kisah itu sudah cukup untukku. Dan, aku akan berusaha untuk menerimanya. Tentunya menerima dengan penuh keikhlasan.”
“Ya sudah, kalau begitu ayo ke bandara sekarang.” Ajaknya, seraya mengulurkan tangan kanannya di hadapanku.
Sebelum membalas uluran tangannya, aku menutup notebook berwarna jingga itu—dan memasukkannya ke dalam ransel.
“Ayo!” ucapku sambil membalas uluran tangannya.
Setelah itu, kami berjalan menjauh dari tempat yang kami duduki tadi—dengan gandengan tangan yang semakin erat, seakan tak ada yang mampu untuk melepasnya.
“Terima kasih, Olin.” Katanya, tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya dengan kedua alis yang menyatu. “Kenapa berterima kasih?”
Seseorang itu menghela napas berat. “Yeah, karena kau sudah mau menerimaku.”
Selang beberapa detik setelah dia menjawab pertanyaan dariku, aku terkekeh pelan. “Ah, karena itu rupanya.”
“Ya, memang karena itu. Kau pikir karena apa?” dia bertanya balik.
Aku mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku juga tidak tahu.”
Seseorang itu mendengus. “Dasar aneh.”
Bukannya kesal, aku malah tertawa mendengarnya berkata ketus.
“Teruslah seperti itu, Olin.”
“Eh—” aku mengernyit tertahan. “Kenapa?”
Ekspresi wajahnya yang kesal itu mendadak hilang. Digantikan oleh senyuman teduhnya. “Teruslah tertawa seperti itu. Aku suka.”
Mendengar pernyataannya, entah kenapa kedua pipiku tiba-tiba terasa panas.
Aku berdeham canggung, kemudian berujar. “Terima kasih, Marley. Sungguh aku sangat berterima kasih kepadamu.”
Laki-laki itu mengusap kepalaku lembut. “Apa pun untukmu, Olin. Aku akan bahagia, kalau kau juga bahagia.”
Aku menghentikan langkahku, begitu pun dengan Marley. Kami berhenti tepat di bawah pancaran cahaya lampu taman.
Tanpa memedulikan tatapan pengunjung lain, kami bersitatap cukup lama di tempat yang sama seperti lima tahun lalu. Bedanya, kali ini aku dengan Marley, bukan dia. Dan, kali ini juga tidak ada perasaan sedih di antara kami. Sama sekali tidak ada. Hanya perasaan bahagia yang meluap di hati kami masing-masing.
“Sekali lagi, terima kasih sudah mau menerimaku, Aleysia Olin Elina.”
Aku tersenyum lebar. “Sebuah kebahagiaan untukku saat menerimamu, Marley.”
Detik itu juga, Marley membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Dan, dengan senang hati aku membalas pelukannya.
Kami berpelukan cukup lama di bawah langit yang perlahan menggelap. Warna jingga di atas sana telah pudar. Begitu juga perasaanku untuk dia. Sudah tidak ada yang tersisa. Warna-warna cerah itu sudah bukan untuknya, tapi, untuk Marley.
Ya, Marley. Seorang laki-laki yang Tuhan berikan untukku.
Bersamanya aku akan menghabiskan sisa hidupku di sana. Di negara kelahiran Marley, Kanada. Meninggalkan kota penuh kenangan ini. Serta meninggalkan seluruh kisah yang pernah aku ukir bersama dia.
Maaf, Ibu...
Maafkan aku yang harus pergi jauh dari kota ini.
***
-END-
See you on the next universe, guys!
Thank you for giving support for me❤Regards,
Senja🧡
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Erland [END]
Romance"𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚝𝚞𝚕𝚞𝚜𝚊𝚗, 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚎𝚛𝚙𝚊𝚔𝚜𝚊𝚊𝚗." -𝑫𝒆𝒂𝒓 𝑬𝒓𝒍𝒂𝒏𝒅, 2021 *** [Follow dulu sebelum baca!] Highest Rank in 2022: #1 truestory (16-18 Juli 2022) Started : 26 April 2021 Finished: 07...