22. Kebenaran

87 14 0
                                    

Malam itu, Rara dan Sekar menceritakan semuanya. Tanpa terkecuali. Setiap kalimat yang mereka berdua lontarkan, sukses membuatku menahan napas—dan mengusap pipi yang basah karena aliran air mata.

“Olin, maafkan aku yang baru memberitahumu sekarang.” Sekar bersuara pelan. “Kalau aku bilang kepadamu waktu itu, mungkin saat ini kau dan Erland masih baik-baik saja.”

Lagi-lagi, aku terisak dalam diam. Ya Tuhan! Rasanya sungguh berat menerima kebenaran dari mereka.

“Erland tak pernah absen mengunjungimu, Olin. Dia datang setiap hari. Diam-diam memperhatikanmu dari kejauhan.” Lanjut perempuan itu. “Sungguh aku minta maaf, Olin. Aku minta maaf karena akulah yang melarang Erland agar tidak menemuimu waktu itu. Karena sebetulnya, Erland ingin segera bertemu denganmu setelah satu bulan dia pergi dari hadapanmu—dan menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kalian. Tapi, karena aku melarangnya, dia hanya bisa kembali mengamatimu dari kejauhan. Dan selalu menuliskan kata ‘maaf’ pada surat yang ditulisnya. Aku menyuruh dia untuk tidak menemuimu, agar dia bisa merenungkan kesalahannya yang diperbuat.”

Aku sedikit mendongakkan kepala. Menatap Sekar tepat di kedua bola matanya, mencari setitik kebohongan. Tapi, percuma. Sebab, yang terpancar dari sorot matanya adalah kejujuran. Aku ingin marah, tapi tidak bisa. Semuanya sudah terlambat.

“Kenapa, Sekar?” aku bertanya, lirih. “Kenapa kau melarangnya? Kau bahkan tahu, selama empat bulan itu aku tersiksa.”

“Aku tidak mau kau semakin tersiksa karenanya. Lagipula, saat itu aku ingin kau fokus dengan kuliahmu, dan melupakan soal Erland sejenak. Aku sama sekali tidak menduga akan begini jadinya.”

“Aku pun baru mengetahuinya tiga bulan lalu. Satu hari sebelum aku menamparnya di kampus tanpa sepengetahuanmu, juga teman-teman kita.” Sekar berucap lagi. “Saat itu, aku melihatnya berjalan ke arah sini, dan membawa sebuket bunga di tangannya. Tapi, karena aku sudah sangat kesal dengan sikapnya yang menyakiti hatimu, aku berlari menghampiri Erland dan memberi peringatan padanya supaya tidak menemuimu hari itu. Dan tentunya kau tidak melihat kejadiannya, Olin. Karena saat itu, kau sibuk mengerjakan tugas kelompok bersama Marley dan Kent.”

Aku terdiam, berusaha mengingat peristiwa tiga bulan lalu. Dan...

“Bukankah kau—”

“Itu bohong, Olin. Aku bohong kalau saat itu hendak ke minimarket. Padahal, tujuan sebenarnya adalah menghampiri Erland. Aku melihat sosoknya di kejauhan—dari lantai dua rumahmu. Lebih tepatnya, dari balkon kamarmu—saat aku sedang bersiap.” Sekar memotong kalimatku cepat

Ah, astaga! Kenapa aku baru mengetahui hal itu sekarang? Kalau saja Sekar memberitahuku lebih cepat—sebelum aku membuat keputusan untuk Erland, akhir pertemuanku dengannya tidak akan se-buruk tadi.

“Kau ini kenapa gegabah sekali, Sekar?! Sebelum bertindak semacam itu, harusnya kau bicara kepada Olin terlebih dahulu. Jangan asal memberinya peringatan!” Rara yang sedari tadi membungkam mulutnya, ikut menyela.

Sekar berdecak, “Sudah kubilang, kalau aku terlanjur sangat kesal dengannya. Lagipula, saat itu juga Tari sudah kembali ke Jakarta, kan? Jadi, tindakanku tidak sepenuhnya salah.”

Aku refleks membuka mulut. “Jadi... Dugaanku benar? Kalau Tari sudah lama kembali ke Jakarta?”

Sekar menghela napas, dan memijat pelipisnya. “Iya, benar. Tari kembali ke Jakarta tiga setengah bulan yang lalu. Dua minggu sebelum aku memberi peringatan pada Erland. Aku tahu hal itu dari Rara.”

Dahiku mengernyit semakin dalam. Lalu menoleh ke arah perempuan berkacamata yang duduk di samping kananku. “Rara?”

Dia menghela napas, raut wajahnya terlihat lelah. “Maaf, Olin.”

Dear Erland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang