Chapter 13

620 104 11
                                    

Kami masuk mobil. Seperti biasa aku di belakang merebahkan diriku di kursi mobil bagian belakang dan tak lama tertidur.

" [Name], bangun [Name]" panggil Five.

" Ngantuk.." jawab ku pelan.

" Lakukan seperti biasa saat kecil Five" kata Luther.

Five lalu menggendongku turun dari mobil. Ya.. memang setiap pagi aku selalu dibangunkan kakakku Five dengan langsung saja digendong, setelah langsung diturunkan di kursi meja makan dengan bantalan duduk ku.

Aku digandeng Five masuk ke dalam sebuah bar.

" Ah, itu aku" kata Five sambil menunjuk seorang lelaki yang sudah tua.

" Ah, seharusnya kau mencukur kumismu saat itu" kataku.

" Shtt, shtt jangan bahas itu. Aku memang jelek saat tua" kata Five.

" Itu kopernya" kataku sambil menunjuk koper yang dijaga Five yang tua.

" Aku harus memanggilmu saat tua siapa?" tanya ku.

" Terserah, yang penting jangan kakak" kata Five.

" Oke, kalau begitu kakek Five" jawabku.

" Hei, Five kenapa kau tak ambil kopernya dan lari?" tanya Luther.

" Luther, aku tak akan biarkan itu terjadi. Kita harus menjaga koper ini sepenuh hidup." Kata Five.

" Benar." Kata Luther.

" Oh ya, ditambah paradoks yang melekat dan membuat ini jadi rumit. Aku membahayakan keberadaanku dengan sekedar berada di ruang yang sama." Kata Five.

" Hah, apa maksudmu?" tanya Luther.

" Luther, pahamilah" kata Five dengan nada agak kesal.

" Kak, tapi aku pun juga tak paham" kataku pada Five.

" Kalau kamu, lakukanlah apa yang kusuruh. Itu saja" kata Five.

" Jadi diri tuaku tak kembali ke 2019 seperti yang seharusnya, semua bisa buyar. Keberadaanku lenyap. Kau mengerti?" tanya Five.

" Eumm, ya. Aku mengerti" kata Luther.

" Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Luther.

" Mungkin cara terbaik adalah ajak dia bicara, mungkin berunding dengannya. Mungkin dia akan mengerti. Itu saranku. Ya, jika kalian tak mau menerimanya aku akan diam" kataku.

" Tidak, itu ide yang sangat bagus" kata Five.

" Oke, dan ini pertama kalinya saranku diterima oleh kakak kakakku" kataku.

" Ya, berterima kasihlah padaku" kata Five lalu menggaruk garuk lehernya.

" Barusan kau garuk lehermu. Itu tahap kedua psikosis paradoks" kata Luther.

" Tidak, aku tak menggaruk" kata Luther.

" Oke, tahap pertama, penyangkalan." Kata Luther.

" Aku baik baik saja, oke?. Fokus saja dengan tugas" kata Five lalu hendak menghampiri kakek Five.

" Tunggu" kata Luther menahan Five.

" Apa?" tanya Five.

" Mungkin sebaiknya aku dulu" kata Luther.

" Kenapa?" tanya Five.

" Kau akan membuatnya takut. Bertemu dengan kembaran kecilnya? Dia bakal kalang kabut. Biar kubuat perkenalan dulu." Kata Luther menyarankan.

𝐍𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫 𝟖 𝐓𝐡𝐞 𝐂𝐨𝐦𝐩𝐚𝐬𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐭𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang