Chapter 14

607 95 2
                                    

" Selain keringat di dahi, kurasa itu berjalan cukup baik kan?" tanya Luther sambil mengelap keringat yang mengucur di dahi Five.

" Tidak, ada sesuatu.... Sesuatu yang tak beres" kata Five.

" Apa maksudmu?" tanya Luther.

" Aku tak mempercayainya" kata Five.

" Mungkin dia berbohong pergi ke toilet" kataku.

" Tapi dia adalah kau" kata Luther pada Five.

" Ya memang.." kata Five.

" Ok, aku akan menyusulnya ke toilet" kata Luther.

" Huft, hidup sangat melelahkan" keluhku lalu menidurkan kepalaku di meja.

Tak lama Luther kembali bersama kakek Five.

" Kau siap?" tanya Five.

" Sudah siap" kata Luther.

" Setuju. Kita harus cepat. Kennedy dalam perjalanan. Waktu beraksi kurang dari satu jam." Kata Kakek Five.

" Kenapa kau tiba tiba gelisah ingin pergi?" tanya Five.

" Tenang. Kau mulai paranoid." Kata Kakek Five pada Five.

" Benarkah?" tanya Five.

Anehnya mereka lalu saling beradu kentut.

" Hoek, bau" keluhku lalu melemparkan bedak bayi di pantat Five.

" Tunggu, kau tak memberikannya padaku juga?" tanya Kakek Five.

" Tak akan" kata Five lalu merangkulku.

" Ok ok Baik, ayo pergi" kata Luther. Tanganku di tarik kakek Five untuk pergi.

" Jangan pegang adikku" kata Five dengan tatapan tajam pada kakek Five.

" Baiklah, santai saja hingga tugasku di bukit berumput beres. Kita dapatkan hitungannya lalu kubunuh bocah itu ( maksudnya Five )." Kata Kakek Five.

" Hei!" teriakku sambil menginjak kakek Five.

" Apa yang kau lakukan?" tanya kakek Five.

" Berharap saja kau bunuh kakakku" kataku dengan nada tinggi.

" Aku lah kakakmu" kata kakek Five.

" Stop" kata Luther menengahi.

" Seandainya ada cara lain untuk melakukannya." Kata Luther.

" Tidak ada. Lihat dia ( Five)" kata kakek Five.

" Lihat apa yang kau maksud?" tanya Five dari belakang.

" Lihat lah" kata kakek Five.

" Menurutmu lucu?" tanya kakek Five.

Aku melihat Five yang berbicara sendiri seperti orang gila. Aku pun berlari menghampirinya.

" Hey! Jangan jadi orang gila!" Keluhku.

Five tak mendengarkannya dan tetap berbicara sendiri.

" Oke. Aku mulai malu menjadi adikmu" kataku.

" Tak peduli!" teriak Five.

Aku menempelkan kedua tanganku di mata Five lalu mengeluarkan cahaya kuning keemasan dari tanganku.

" Ouch! Silau" keluh Five. Aku segera menarik tangannya dan menyusul Luther.

" Hey, adik kecil? Apa kabarmu?" tanya Luther pada Five.

" Kayak barusan ketemu aja" gumamku.

" Kakek tua itu mebunuhku, bukan?" tanya Five pada Luther.

" Apa? Dia? Dia akan membunuhmu? Yang benar. Itu sangat konyol" kata Luther.

" Kau mendengarnya kan bahwa dia akan membunuhku?" tanya Five padaku.

Aku mengangguk.

" Haha, untunglah aku punya adik perempuan yang jujur" kata Five lalu mengacak acak rambutku.

" Kau tau Luther? Kau pembohong yang buruk" kata Five.

Luther dan Five melanjutkan adu mulutnya kembali. Sementara aku hanya memperhatikan mereka dari belakang sambil memain mainkan rambutku.

" Aku tahu otak lemahmu hanya merespons pada senior dan otoritas, jadi dengarkan baik baik. Lagi lagi, kau mengalami masalah figur ayah, kali ini dengan saudaramu sendiri, yang sejujurnya membuatku sedikit gila. Tapi ingat ini, aku 14 hari lebih tua darinya. Akulah yang senior disini. Jadi, kau seharusnya mendengarkanku, Luther." Kata Five.

Aku hanya berdiri sambil melihat pertunjukan adu debat mereka.

" I'm the daddy here!!!!!!" teriak Five pada Luther.

" Hei, ada apa dengan kakakmu itu? Beraninya dia meneriaki ayahnya" tanya seorang ibu yang sedang membawa anak kecilnya.

" Bukan kakakku" jawab ku cuek.

" Oh, katakan pada ayahnya jika ia butuh pengasuh" kata ibu itu sambil memberikan nomor telpon pengasuh pada Luther.

" Haha, iya Bu terima kasih" kata Luther canggung.

" Five, tolong bersikaplah sepantasnya. Lihatlah. kata Luther.

"Kuakui ada kemungkinan bahwa aku mungkin tak berpikir jernih saat ini." Kata Five.

" Baik, bagus" kata Luther.

" Tapu apa pun yang kualami, dia juga." Kata Five sambil menunjuk kakek Five.

" Maksudnya?" tanya ku tak paham.

" Kalian berhentilah bercanda. Kita sampai" kata kakek Five lalu menaruh kopernya dan kentut.

" Kenapa kau saat tua sering kentun?" tanya ku pada Five.

" Entahlah" kata Five.

" Buang gas. Tahap empat?" tanya Luther.

" Lihat? Apa rencanamu sekarang, Jagoan?" tanya Five.

" Tuttt" kakek Five kembali kentut.

" Kakek! Bisakah jangan kentut sembarangan?" keluhku.

" Sudah dibilang, aku kakakmu" kata kakek Five.

" Ah, sudahlah" kataku lalu duduk di dekat pagar. Ya sambil melamun, tak tau apa yang harus kulakukan.

" Lihat, kopernya" kata Five yang sepertinya tak sabar.

" Jangan kak. Kau tak akan sempat." Kataku.

" Tentu saja aku bisa. Hanya ini peluang kita" kata Five.

" Hei, ingatkan aku, apa tahap akhir psikosis paradoks, ya?" kata Luther.

" Hasrat membunuh" kata Five.

" Ah, ya.. benar" kata Luther.

Five bersiap berlari menghampiri kakek Five.

" Five, dengarkan aku. Eh.. jangan Five" bisikku.

Namun Five tak mendengarkan dan berlari menghampiri kakek Five. Ternyata kakek Five melihat bahwa Five berjalan mendekatinya. Lalu kakek Five berteleport ke sampingku sementara Five berada di depan.

𝐍𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫 𝟖 𝐓𝐡𝐞 𝐂𝐨𝐦𝐩𝐚𝐬𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐭𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang