4. Semburat Jingga

17 11 8
                                    

"Semburat jingga menggelar pesan dari sang fajar yang tak sempat memberi warna pada dunia. Kini, giliran senja yang melukis dengan warna tak kasatmata, yaitu Violet."

Di tepi sungai memandang jernihnya air kehidupan yang menjadi cermin langit adalah favoritku. Sekilas mengagumi keindahan semesta yang tak bisa disentuh tangan, hanya nikmat dunia semata. Namun, sejatinya hanya untuk menanti sang senja yang menggelar semburat jingga. Benarkah itu warna jingga yang ditemani awan kelabu?

Sedang pengetahuan berkata jikalau senja sejatinya berwarna violet, perpaduan warna biru langit dan ungu sebagai bias mentari yang menatap sendu bumi. Sayang, netra manusia tak bisa melihatnya. Seindah itukah violet, sampai tak ada satu pun yang diizinkan untuk mengetahuinya? Setiap matahari terbenam hanya gadis itu yang kupikirkan, entah di mana dan sedang apa dia di sana.

Jika benar Violet putri Doktor Zey itu menjadi transparan, bagaimana dirinya hidup? Seorang diri di hutan tanpa tempat tinggal, dan tak ada yang bisa melihatnya pasti mereka berpikir ia hantu. Mimpi buruk itu menggangguku, kenapa aku harus memikirkan gadis berambut pirang yang berlari ke dalam hutan itu. Mustahil dia masih ada.

Kulempar batu ke arah air yang tenang, memantul beberapa kali secara runtut sampai air pun terpecah indah. Daripada memikirkan indahnya warna yang bahkan tak bisa kulihat, lebih baik membaca komik di komik pangeran dekat rumah.

Sampai di sana kulambaikan tangan kepada paman penjaga perpustakaan komik itu. Tanpa basa-basi aku mencari buku terbaru di rak, tetapi hanya menemukan komik horror bukan tentang penelitian. Sejak bermimpi tentang Violet, aku mulai tertarik dengan penelitian. Aneh.

"Paman, apa tidak ada buku fiksi ilmiah terbaru?" tanyaku. Paman terlihat membuka laci dan mencari-cari buku, pasti ia menyimpan komik yang langka. Aku segera bangkit dan mengembalikan komik horror tadi, karena bosan. Lalu, menghampirinya yang memegang dua buku baru.

"Ini tentang penelitian, tetapi judulnya agak aneh 'The Coincidence'. Kalau tidak salah ini komik seri terakhir dari Violet Damara, penulis misterius yang sedang naik daun." Paman memaparkan buku luar biasa itu yang sempat kukira romance. Namun, begitu melihat covernya yang bernuansa biru gelap dan gambaran hutan yang misterius.

Aku langsung merebutnya mengingat Violet di mimpiku yang menuju hutan dan meninggalkan tempat penelitian yang penuh misteri. Di buku itu digambarkan angka-angka menghias dinding biru pekat, yang menjorok ke tengah buku sampai pada gambaran hutan, dan seorang gadis di sana. Penulisnya pun Violet Damara, seakan memberi jawaban atas pertanyaanku selama ini.

"Apa ada buku karyanya selain ini?" tanyaku mengingat Paman bilang itu buku seri terakhir. Dapat kuterka pasti ini berisi harapannya bertemu seseorang. Aku menginginkan hal yang sama, semoga semesta mempertemukan kita, dan menjawab semua misteri dalam kehidupanku selama ini.

Paman memberi reaksi tak senang mendapati antusiasku yang tak seperti biasanya. Mata serasa ingin keluar dan otot-otot leher terlihat jelas seakan ada emosi yang ingin keluar. Seharusnya aku tak berlebihan. Aku mundur dan mencoba tenang dengan menundukkan pandangan.

"Aku tidak punya, Nak. Selalu terlambat, kehabisan stok," jawabnya dengan nada kecewa. Sayang sekali aku baru mengetahuinya.

Aku pun mengangguk dan meminta izin untuk meminjamnya, "Paman, aku pinjam ini untuk beberapa hari." Paman mengangguk, tanpa pikir panjang aku menghubungi Vioni sahabatku untuk bertemu di taman.

Sesampainya di taman aku duduk di dekat air mancur sambil membolak-balik buku itu, hingga Vioni  datang dengan penampilan tomboynya. Kaos putih dibalut jaket dan celana jeans serta topi, tetapi ia masih terlihat cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai rapi.

Begitu manis saat melihatku dari ujung sana, ia melambai dan tersenyum. Lalu, berlari kecil ke arahku. "Hai, ada apa?" tanyanya sambil duduk di samping.

"Soal tugas akhir kita, aku sudah memikirkannya," ucapku yang mantap dengan keputusan untuk mengambil tema hollow-man yang jalan satu-satunya adalah mewawancarai Doktor Zey. Banyak kejadian yang meyakinkanku akan adanya Violet, putri doktor penemu serum transparan itu.

Vioni mengangkat alis, meragukan keputusanku. "Kamu yakin mau menemui Doktor Zey di penjara?" tanyanya untuk memastikan.

"Kenapa tidak, jika itu satu-satunya sumber tugas kita?" Vioni mengangguk, lalu tersenyum tanda mendukung keputusanku. Usai berbincang soal penyusunan dan pembagian tugas, serta merencanakan wawancara agar berjalan mulus kami pulang ke jalan masing-masing.

"Hati-hati, Ken!" Vioni memakaikan topinya ke kepalaku, lalu langsung berlari menjauh. Saat aku hendak mengembalikannya, ia malah tersenyum, dan melambaikan tangan. Gadis yang manis, aku hanya tersenyum.

Harapanku masih besar untuk melihat Violet secara nyata, terlepas dia masih ada atau sudah tiada. Meski tak kutahu di mana dirinya berada, berani datang dalam mimpi berarti ada pesan yang ingin sampaikan padaku selama ini. Tiba-tiba terdengar suara seorang pria.

"Ke mana ayah mencarimu, Nak? Sedangkan melihatmu saja tak bisa," keluh pria berkemeja biru langit dan celana abu-abu itu. Seorang lelaki paruh baya dengan tas besar dan kacamata yang kini meraup wajah, resah dengan sesuatu. Karena rasa penasaran aku menghampirinya.

"Paman, ada apa? Sepertinya paman bingung," ungkapku sembari tersenyum ramah. Matamu langsung tertuju pada jas doktor yang ia sampirkan di tangan kiri dan foto yang ada di tangan kanan.

"Tidak, Nak, paman tidak tahu mau ke mana. Paman baru saja keluar dari penjara," ucapnya. Jelas kata penjara dan kalimat yang ia keluhkan tentang putrinya tadi membuatku menduga.

"Anda Doktor Zey?" Aku tak bisa menahan perkiraan yang terlontar begitu saja. Ia tampak terkejut dengan pertanyaanku yang terkesan mendadak dan tak terduga.

"Kau tahu darimana, Nak? Kau siapa?" Pertanyaan itu terlontar secara bertubi-tubi, sebuah kebetulan aku menemuinya di sini. Tugas akhir itu akan lebih mudah, tak perlu membut surat izin ke kantor polisi untuk wawancara orangnya saja sudah di depan mata. Ah iya, aku ingat komik Violet di tangan, langsung kusodorkan padanya.

"Ini apa?" tanyanya lagi, belum sempat aku menjawab pertanyaan tadi sudah disuguhi kebingungan baru lagi. Mungkin aku yang terlalu bahagia hari ini.

"Paman ayo ikut aku ke rumah," ajakku tak ingin basa-basi lagi. Seakan tak sabar menanyakan semua misteri yang menghantui selama ini.

"Tapi, Nak, kau membuatku bingung." Ia tertawa ringan sembari menggaruk tengkuknya.

"Ini buku karya putrimu bukan? Violet Damara penulisnya, dan baru kutahu jika ini buku seri terakhirnya." Pria paruh baya itu tampak terkejut dan langsung memeriksanya. Benar, judul dan cover yang sangat menggambarkan peristiwa itu pun meyakinkannya.

"Putriku, di mana dia? Apa kau tahu, Nak?" tanyanya. Aku menjelaskannya sembari berjalan ke arah rumah.

"Aku tidak tahu paman, mungkin dia masih tetap di dekat gedung penelitianmu." Kami membicarakan Violet sepanjang jalan, aku bersyukur bisa bertemu dengannya dan mengetahui kebenaran yang ada. Setidaknya semua ini benar adanya.

"Violet, kau benar semesta mempertemukan kita. Aku semakin dekat denganmu." Aku tersenyum pada matahari yang telah mengakhiri hari ini dengan sempurna agar hari esok bisa lebih bahagia.

Foto di tangan Doktor Zey masih kupandangi walau buram, setidaknya kutahu rambutmu berwarna pirang dan netra abu-abu itu. Potret yang mirip seperti di mimpiku, jika senja esok ada waktu akan kulukis dirimu di penghujung hari agar kau bisa tersenyum untuk esok pagi.

Evanescent [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang