"Aku bisa merasakan hadirnya dirimu, tetapi kenapa sulit untuk melihatmu secara nyata."
"Ken ...." Suara lirih berbisik tepat di telingaku membawa serta napas hangat yang menyapu pori-pori kulit. Perlahan sentuhan lembut mendarat di pundakku, ditepuk pelan. Saat kubuka mata berubah menjadi belaian yang memanjakan, membangunkanku dari tidur yang menyesatkan.
Saat mataku terbuka sepenuhnya tak ada siapapun, hanya kabut tebal yang menutupi tanah pekuburan. Namun, dapat kurasakan sentuhan itu mengenai bahu, firasatku mengatakan ada gadis yang tersenyum padaku di sana. Meski berkali-kali kucoba mengusir pikiran di luar logika, berkata pada diriku itu tak masuk akal. Namun, keyakinanku kuat.
"Ken, kumohon jangan ke tempat ini," pintanya diiringi suara tangis. Tangannya yang dingin masih menyentuh bahuku, isak tangis dan suaranya pun dapat kudengar jelas. Ucapannya membuatku teringat dengan kuburan itu, sebuah makam yang menarikku kuat untuk ke sana. Seakan ada hubungan batin di antara kami dan ia mencoba menyampaikan misteri yang menyiksanya.
"Ini makam ayahku?" tanyaku sembari menunjuk makam ayah dengan netra memerah dan berkaca-kaca, tetapi gadis transparan itu menahan tanganku. Hanya membelai nisan ayah yang kumampu, bola mata berputar menyeleksi kenyataan yang ada. Pandangan terarah ke tanah kering yang tak terpelihara. Pedih. Tentu saja kabut pekat itu mengaburkan dan menerpa dengan dinginnya.
Kuusap nisan, turun ke tanah panjang itu dengan tanganku. Air mata meniti, kuberikan tatapan kepada gadis yang tak kasatmata. "Ken, ayo pergi dari sini, kumohon. Please, listen me," pintanya.
"Why? My dad in here, dia terluka. Kenapa mereka meninggalkannya di sini? Dia tersiksa, aku merasakannya." Tak tahu apa yang terjadi, tetapi aku berasumsi jikalau kematian ayah begitu tragis hingga dikubur di tempat terpencil. Apa ada kaitannya dengan hollow tragedy? Mataku memerah, berganti mengintimidasi sosok di hadapanku. "Apa dia bahan percobaan manusia transparan?"
Tak ada jawaban yang kudengar, hanya gema suaraku yang terdengar. Tangan dingin itu membawaku ke pelukannya. Di atas bahunya aku menangis karena air mata yang kurasakan keluar dengan hebatnya. Mungkinkah gadis itu Violet yang selama ini kuimpikan? Jika benar dialah yang selama ini kucari, sosok yang memanggil dan membawaku ke sini dengan rasa sakitnya.
"Kenapa? Kenapa aku bisa merasakanmu, tapi tidak bisa melihatmu?" tanyaku. Pelukannya semakin erat. Kurasakan kulitnya dingin menyentuh pori-pori kulitku. Surai panjang dan lembutnya mengenai pipi. Dengan susah payah kubayangkan tubuhnya untuk membalas pelukannya. Perlahan melingkarkan tangan di punggungnya. Menangis bersama di samping makam ayah.
Netraku terpejam, entah bagaimana aku menginginkannya. Tangan dituntun hati untuk menyeka air mata, meraih tengkuk leher, lalu mendekatkan diri. Mempertemukan dua wajah yang berbeda dimensi, tetapi satu hati. Menempelkan dahi dan menunduk, berebut oksigen di tempat yang sama, menangis atas luka yang tak jauh berbeda.
Perlahan kurasakan tangan lembutnya mengusap wajah. Setiap sentuhannya membuatku semakin menginginkannya. Terpejam dalam nikmatnya gairah. Pria senaif diriku, bukan ... bukan diriku yang rakus dengan belaian seorang gadis. Deru napasnya yang hangat menyapu wajah membuatku menginginkan lebih dari sekadar merasakan keberadaannya.
Kutarik tengkuk leher mendekat, menghadiahkan kecupan ringan di bibir, lalu menjauh. Tidak, aku ingin lebih setelah mencium aroma mawar bercampur susu itu. Bibir cherry yang dingin karena udara merayu untuk melakukan lebih. Mengecap dan memperdalam. Sial! Kenapa aku menikmati sesuatu yang bahkan tak pernah terlintas di pikiranku.
![](https://img.wattpad.com/cover/247088297-288-k90631.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent [TAMAT]
Fiksi Ilmiah/evanes·cent/ (adj) Arti:lekas menghilang dan hanya bertahan dalam kurun waktu singkat. Oradour San, Prancis menjadi laboratorium seorang peneliti terkenal yang berhasil membuat organ manusia transparan. Namun, seseorang juga harus menjadi bahan uji...