Can I exhale for a minute?
Can I get this out in the open?
Can I sit down for a second?
Can I breathe?Can I exhale for a minute?
Can we talk it out? I don't get it
Can I calm down for a moment?
Can I breathe for just one second?"Zey," panggil Nyonya Amelia yang hampir menangis, tetapi ia masih memaku di ambang pintu gudang. Matanya yang berkaca-kaca tertuju pada laki-laki dengan kaos putih dan celana hitam itu. Siapa lagi jika bukan Doktor Zey yang mempercantik bunga Lotusnya.
Sang pemilik nama menoleh saat dipanggil, dengan tatapan dingin di balik kacamata itu ia mengamati. Sampai matanya membulat sempurna dan ia seutuhnya membalikkan badan ke arah kami, "Amelia?" tanyanya.
Wanita paruh baya itu tersenyum sempurna dengan air mata yang luruh membasahi pipi. Seperti menyaksikan pertemuan sepasang kekasih setelah sekian lama berpisah. Bagai film romantis, kalimat "aku merindukanmu" meluncur dari bibir nyonya Amelia.
"Come to me," balas Doktor Zey.
Mama Vioni itu pun melesak ke pelukan suaminya dan menangis. Keduanya saling memeluk erat dan tersenyum, hingga salah satunya mengakhiri untuk kembali ke tujuan awal kami.
"Ah, tak apa, sekarang kalian selesaikan percobaan dan aku akan menjaga Violet!" putus Nyonya Amelia yang melepaskan pelukan dan menghapus air matanya. ".... bersama putriku, kau ikut juga denganku!" tegas nyonya Amelia yang disetujui oleh Doktor Zey dengan anggukan serta senyumannya.
Aku, Datta bersama Doktor Forc dan Doktor Zey mulai bergelut di laboratorium dengan jas putih, blazer, sarung tangan, dan perlengkapan lainnya. Di depanku catatan dan mikroskop, Datta menghadap gelas ukur, pipet, dan lainnya. Sementara Doktor Zey memegang gelas beker sambil memeriksa buku catatannya. Tak lupa Doktor Forc yang memakai kacamata pembesar bukan lup (kaca pembesar). Sesekali ia memutar ujung kacamata yang dipakainya itu untuk melihat dengan baik batu amethyst yang akan diubahnya menjadi larutan.
Selagi fokus mengamati senyawa yang bercampur di bawah mikroskop, yaitu darah dengan senyawa berwarna biru, tiba-tiba aku merasa aneh. Sejenak aku mengerjapkan mata, hingga bayangan menakutkan itu datang lagi.
Ruang penelitian yang gelap, hanya ada penerangan terbatas dari cahaya biru di atas tubuh seorang manusia yang terbaring di atas bankar. Seorang laki-laki dengan baju biru, ia seakan berada di meja operasi. Namun, ini berbeda, bukan sebagai pasien akan tetapi bahan percobaan. Sebuah cairan disuntikkan ke tubuh.
Membayangkannya membuat kepalaku seperti ditusuk jarum.
Lebih jauh, cairan bercampur dengan tubuh menjadi senyawa baru yang hidup dan menyebar dengan cepat. Tubuh itu bagai terdengar listrik, matanya terbuka lebar dan memerah. Otot-ototnya menegang, bahkan terlihat jelas. Ia menjerit hingga darah keluar dari mulut.
Brakkk!
Pertahanan ku runtuh, sakit mendera kepala seketika. Tanganku bertopang pada buku saat akan goyah dan menggeser gelas-gelas beker di sampingku dengan tangan lainnya. Seketika semua pandangan tertuju ke arahku. Kini, aku mengepalkan tangan kuat menahan rasa sakit di kepala dan sesak di dada, jantungku pun berdebar tak karuan.
"Ken, kau baik-baik saja?" tanya Datta sembari menatapku dengan cemas.
Aku menggeleng, "Aku keluar sebentar," putusku yang menepuk bahunya, lalu melenggang keluar dari laboratorium. Duduk bersimpuh di lantai sembari memeluk lutut. Nyatanya rasa takut dan traumaku pada penelitian sejak kecil tidak bisa dihilangkan. "Ayah," panggilku dengan anda bergetar dan menenggelamkan kepala di lutut. Air mataku luruh hingga terisak dalam hening.
Suara pintu laboratorium terbuka menarik perhatian, aku mendongak. Melihat Doktor Zey yang melepas masker, lalu menyaku dan bersimpuh di depanku. Tangannya terentang untuk menyambutku dalam pelukan.
"Kemari," pintanya, tanpa menunggu jawabanku yang hanya menatapnya, ia langsung memelukku erat.
Aku menangis di dekapannya, "Aku takut ...," ungkapku sembari menyesakkan kepala di dada laki-laki yang ingin kusebut ayah itu. Ia menangkup kepala dan mengusap punggungku beberapa kali dengan lembut untuk menenangkan. "Itu menyakitkan," gumamku dengan tatapan kosong, lamunanku jatuh pada bayangan percobaan-percobaan menyeramkan itu.
"Sssttt tenanglah, tidak ada yang memaksa untuk melakukan itu," balasnya sembari mengusap puncak kepalaku.
"Bayangan menakutkan itu selalu datang, seseorang yang tersiksa karena menjadi bahan percobaan selalu terlintas di benakku," ungkapku yang membuatnya menempelkan dagu di puncak kepala.
"Maaf," katanya.
Padahal aku tahu dia tidak jahat, aku tahu ini juga bukan salahnya. Hanya saja traumaku masih saja muncul setiap dihadapkan dengan penelitian. Sulit untuk mengungkapkan itu, aku hanya menggeleng pelan.
"Ken, lihat aku," pintanya sembari menangkup wajahku.
Mata teduh dan tajamnya menatapku begitu dalam, "Aku tidak memaksamu masuk ke 'Hollow World' ini, tetapi kamu yang tergerak sendiri untuk masuk. Seakan kamu dilahirkan untuk menghilangkan kegelapan ini, terlepas karena Violet atau tidak kamu harus menyelesaikan masalah di dunia ini. Jadi, karena kamu sudah berjuang sampai di sini, aku mohon bertahan sampai akhir ya?" pinta Doktor Zey yang berdiri, lalu mengulurkan tangannya padaku.
"Ya, itu benar," sahut seseorang yang langsung membuatku menoleh. Itu Doktor Forc dan Datta di sampingnya, ia membawa nampan dengan jarum serta serum di dalam botol kaca kecil. Serum berwarna ungu muda yang berhasil menarik perhatianku.
Aku langsung bangkit dan berdiri di hadapan Doktor Forc, pandanganku tertuju pada serum itu. "Ini serumnya?" tanyaku dengan mata berbinar walau masih penuh air mata.
Segera Doktor Forc mengangguk, "Ya, kamu yang harus memberikannya pada Violet," ucap Doktor Forc.
Raut wajahku langsung berubah tegang mendengarnya, aku menoleh ke Doktor Zey, lalu bertanya, "Apa dia tidak akan merasakan sakit?"
Doktor Zey hanya tersenyum dan menggeleng, aku pun menoleh ke Doktor Forc dengan tatapan sendu mengharap jawaban.
"Aku janji, tidak akan seperti sebelumnya."
Kami pun langsung menuju kamar, di mana Violet terbaring dengan selimut putih bergaris biru. Di sampingnya ada nyonya Amelia yang duduk di tepi tempat tidur, sedangkan Vioni yang berdiri di depan nakas sembari menggigit bibir langsung menoleh begitu kami masuk.
Melihat kami, terlebih nampan di tanganku, Nyonya Amelia langsung berdiri dan menyisih. Dengan ragu aku meletakkan nampan di nakas, lalu mengambil jarum suntik dan tempat serum itu. Mengisi suntikkan dengan serum tersebut, kemudian meraba tangan Violet cukup lama sampai menemukan pembuluh Vena dan menyuntikkannya. Begitu selesai menyuntikkan, aku menutupnya dengan kapas basah.
Sejenak menunggu reaksinya, jantungku berdegup kencang menantikan jawaban, apa percobaan akan berhasil?
Sebuah titik seterang bintang muncul disusul molekul jantung yang mulai terbentuk. Aliran-aliran darah pun mulai terlihat bersamaan dengan otot-otot. Tidak! Aku tidak bisa terus melihatnya! Jantungku memompa darah lebih kencang dari biasanya dan rasanya hampir meledak.
Setelahnya membelakanginya karena begitu takut akan reaksi yang selanjutnya terjadi. Hanya bisa menunduk dengan netra terpejam dan mengepalkan tangan.
"Melakukan percobaan ini, taruhannya nyawa, Ken," kata Doktor Zey.
"Ayahmu meninggal karena percobaan itu, Ken!" tegas Mama.
Kalimat itu terngiang di kepalaku, hingga air mata menetes saat memikirkannya berulang. "Aku tidak bisa jika harus kehilangan Violet," ucapku dalam hati.
Sampai suara dan sentuhan lembut memanggilku, "Ken ...."
Deg!
"Vi-violet?" Tangan lembut itu menggenggam tanganku, tetapi aku masih ragu untuk berbalik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent [TAMAT]
Fiksi Ilmiah/evanes·cent/ (adj) Arti:lekas menghilang dan hanya bertahan dalam kurun waktu singkat. Oradour San, Prancis menjadi laboratorium seorang peneliti terkenal yang berhasil membuat organ manusia transparan. Namun, seseorang juga harus menjadi bahan uji...