7. Moonlight

14 8 6
                                    

"Hanya ada gema suaraku tanpa jawaban, aku tersesat di hutan."

Tak biasanya udara terasa begitu dingin, hingga aku terbangun karena terpaan angin yang mengenai ujung kaki. Aku mengerjap pada kamar serba putih milik Doktor Zey yang elegan dan rapi.

Aku pun ikut menyesuaikan, berpakaian putih layaknya pasien di rumah sakit. Dari posisi seperti ini bisa kulihat wajah Doktor Zey yang masih menawan, ia seakan tak menua. Kulit putih halus dengan sedikit pori-pori di sana.

Aku menatapnya kagum, tetapi tiba-tiba perutku terasa sangat lapar. Kulirik jam dinding yang baru bertengger di angka sembilan, aku pun bangkit, berjalan menuju dapur untuk memasak makanan.

Dari kejauhan sudah kudengar suara panci-panci yang beradu, begitu kumiringkan kepala terlihat Vioni yang tampak murung mencari makanan. Mungkin ia juga lapar, aku pun langsung menghampirinya.

"Kau lapar?" Ia menghentikan aktivitasnya, menatapku, memelas. Rambut berantakan dan bibir yang mengerucut, tangannya pun terus memegangi perut, ia hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku.

"Sudah ketahuan dari wajahmu yang tertekuk," ledekku sembari tertawa. Lalu, membuka kulkas mencari makanan.

"Masakkan aku juga, Ken, aku suka dengan spagheti buatanmu. Buatkan, ya, aku sangat lapar." Mulai rewel seperti anak kecil, memeluk tangan kiriku dan merengek. Aku hanya menghela napas dan mengambil dua bungkus spagheti di sana. Ya, walau sudah lama tertinggal, untungnya beberapa perabotan di sini masih bisa digunakan. Dan memudahkan kami yang telah membawa beberapa makanan dari kota sebelumnya.

Vioni tersenyum, sudah mirip kunti saja di malam seperti ini. Bagai istri yang tidak ingin ditinggalkan suaminya, Vioni memeluk erat tangan kiriku dan bersandar di bahu. Aku hanya bisa tersenyum, menahan tawa melihat tingkahnya mirip orang mengigau.

Seakan tak ingin lepas, selama aku memasak ia terus seperti itu mengikuti aku ke manapun, hingga tersandung dan hampir jatuh pun ia tetap tak ingin melepaskannya. Beberapa kali membuatku tertawa dan terdiam, tetapi ia tak menggubris sama sekali.

Hingga, tiba-tiba terdengar suara buku jatuh dari dekat meja makan. Aku terkesiap dan langsung menatap ke arah sana, mendapati sebuah ensiklopedia ada di lantai. Vioni mengerang, ia membuka mata, dan menyisihkan rambut.

Tak melihat ada seseorang di sana, tapi buku terjatuh ke lantai sontak ia memelukku erat. "Ken, aku takut!" Tiba-tiba ada seseorang yang mencubit tangan kananku, reflek aku menoleh.

"Sialan kau!" Sepertinya Violet ada di sana, mengentakkan kaki, lalu pergi dengan kekesalan.

"Ish, cukup Vioni, ayo makan," ajakku sembari melepaskan pelukan Vioni dan segera membawa dua piring spagheti ke meja makan.

Lagi pula malam-malam begini bisa-bisanya kelaparan secara bersamaan dan Vioni malah manja. Entah kemasukan roh apa dia kali ini. Aku hanya bisa menggeleng dan cepat-cepat menghabiskan spagheti agar bisa bergegas tidur kembali.

Kali ini aku tidak ingin berulah lagi, dasar pria yang buruk. Usai tidur bersama gadis satu, sekarang malah berduaan dengan gadis lain. Sudah cukup, aku tidak ingin bermain-main.

Begitu habis spagheti di mangkuk dan perut kenyang, aku berjalan gontai ke kamar Doktor Zey. Hingga, sampai dan kembali menarik selimut. Namun, udara terasa berbeda di jam 00.00, zero o'clock.

Sinar rembulan membiru mengenai ruang kamar putihku, netra terusik dengan cahaya itu. Angin pun kencang menerpa, membuka tirai-tirai. Aku hanya mengerjap, lalu  mengubah posisi tubuh, membelakangi jendela.

Hari ini aku benar-benar lelah, kenapa hal-hal mistis seperti ini terus menggangguku. Kenapa mereka terus memanggilku? Haruskah aku mengetahui masa lalu? Aku membuka mata, terenyak dengan pemikiranku sendiri.

Namun, tidak hari ini, aku harus beristirahat. Kutarik guling dan memeluknya erat, lalu memejamkan mata dengan tenang. "Ken, aku di sini jangan pergi," lirih seseorang tepat di telingaku, bukan suara perempuan.

Aku langsung membuka mata, menatap Doktor Zey yang terlelap dalam tidurnya. Lalu, suara siapa itu? Tak ada seorang pun di sana saat kuedar pandangan ke setiap sudut ruangan. Suara manusia transparan mana lagi yang kudengar, selaim Violet?

"Ayah?" Tiba-tiba pemikiran itu memenuhi benak, menyesakkan berbagai rasa khawatir. Aku berlari keluar, mencari ke setiap sudut rumah ini. Nihil. Hingga, aku ke luar mencari ke setiap sisi dan tak mendapati siapapun.

"Ken," panggilnya lagi dari arah pohon cemara di depan sana, aku langsung berlari dengan netra yang memerah. Berpikir itu benar ayahku yang selama ini kucari. Tak ada salahnya tentang keyakinan itu, Bunda dan Paman dulu juga rekan Doktor Zey mungkin juga ayah ada hubungannya.

"Ayah! Kau di mana?!" teriakku sembari terus berlari melewati bebatuan terjal di hutan cemara yang rimbun. Meski gelap dan menyeramkan aku tak peduli, hanya satu tujuanku. Menemui ayah.

Hingga, kaki terasa lelah dan aku limbung ke tanah. Terisak tanpa sebab, mungkin karena keinginan yang besar untuk bertemu ayah yang sudah meninggal. Aku tak percaya dengan perkataan bunda itu, karena aku merindukannya. Ingin sekali bertemu, setidaknya aku harus tahu tentang ayahku.

"Ayah!" teriakku sekencang mungkin. Air mata tak bisa terbendung, menangis histeris layaknya anak kecil yang menyaksikan kematian orang tuanya.

Aku pasrah menundukkan kepala dengan linangan air mata, hingga merasakan sebuah batu nisan tertancap tepat di hadapanku. Dalam kegelapan saat udara dingin membeku karena desahan. Sebuah nama tertulis jelas di sana.

Aldrick Zinagar
25 Mei 1968
17 April 1997

Ada beberapa bunga indah yang menghias nisan itu, nama Zinagar jugalah nama belakangku. Apa benar ini makam ayah? Tanggal wafatnya sebelum aku lahir ke dunia, seperti yang dikatakan Bunda. Aku masih berumur beberapa bulan dalam kandungan saat itu, anak di luar pernikahan.

Kuseka air mata, mendongak untuk menghentikan tangisan itu. Terlalu lemah. Banyak hal yang masih misteri tentang Bunda dan ayah, apa semua ini berkaitan dengan penelitian Doktor Zey?

Aku semakin dekat dengan semua jawaban masa kecilku, sayang semakin dekat pula aku dengan ilmu sains yang berbahaya. Namun, aku percaya Doktor Zey tak seperti yang mereka katakan. Pasti ada alasan.

Kami berasal dari Paris pindah ke London untuk memperbaiki nama, benarkah pemikiranku itu? Bahwa nama mereka sebagai ilmuwan sudah hancur, Bunda dan Paman pun bekerja sebagai peneliti di tempat lain. Seperti laboratorium yang hangus, begitupun konflik yang timbul di dalamnya.

Hanya ingin membara dan mati, aku berlari ke sana-kemari tak tahu arah untuk kembali. Malam mulai gelap, haruskah aku terbaring di tanah menemani ayahku di pemakaman? Bermimpi tentang melihat indahnya bintang bersama, dan terluka di sisa kegelapan yang ada.

Aku ingin membawamu, mungkin aku berkata tidak untuk tidur di sini, tetapi aku akan memelukmu. Telah lama kunantikan hari ini, merindukan saat-saat seperti ini. Tidur bersamamu tanpa peduli di manapun tempatnya.

Rembulan bersinar di udara dingin dan awan biru menyelimutinya. Aku bersemayam di pelukanmu malam ini, di pemakanmu sekarang. Menghibur hatiku yang tersesat dalam cahaya biru, kau sudah membawaku ke sisi biru ini.

Mengikis rasa sakit dalam kegelapan, kupeluk erat batu nisanmu. Aku akan membawamu, meski ketakutanku memberontak, aku akan menenangkannya dengan memelukmu, Ayah. Kupejamkan mata dan mencoba tenang, melupakan keadaan sekitar. Terlelap.

Evanescent [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang