"Permainan Violin itu anggun dan elegan, bahkan terdengar lembut dan merdu. Tetapi, siapa sangka kejam dan mengerikan."
"Kamu tuh udah transparan, lebih baik ga ada di bumi ini sekalian!" bentak Vioni sembari mendorong gadis yang tak terlihat di depannya dengan keras.
"Aakkhh!" pekik gadis yang terjatuh ke rerumputan di pinggir telaga itu. "Apa salahku padamu?" tanya gadis yang tak lain adalah Violet.
"Ck! Apa pun itu, kehadiranmu hanya mengganggu. Apalah manusia transparan, akan lebih baik kau tiada. Itu akan baik untuk Ken ataupun ayahmu, kan?" tanya Vioni dengan nada tinggi hingga ia layangkan tendangan dengan keras secara asal pada gadis di hadapannya. Dengan sepatu keras dan tebalnya serta tendangan kuat, tentu membuat lawannya tak berdaya.
"Aaakkkhhhh!" Teriakan lantang itu terdengar di telaga, tetapi sang pelaku malah tersenyum miring dan melenggang pergi tanpa rasa bersalah. Suara rintihan terdengar hingga berubah menjadi isak tangis. Saat itulah alam seakan memeluk gadis yang terduduk di atas rerumputan hijau tepi telaga itu.
Burung-burung, kupu-kupu, hingga seekor kucing mendekat dan mengelilinginya. Seakan hewan-hewan itu tahu jika ratunya terluka dan ingin mengobati, tetapi apa daya. Sampai gadis itu berakhir dengan mata berkaca-kaca dan terbaring di sana begitu lama dengan lukanya.
Perih membayangkannya. Air mataku menitih. Tetes embun yang membasahi pipi membuatku terbangun dari tidur malam itu. Masih pagi buta, langit pun masih gelap. Aku tidur dalam keadaan duduk di samping gadis yang kugenggam tangannya. Gadis itu masih terbaring lemah. Tak ada perubahan suhu pada tubuhnya.
Apa yang terjadi padanya seperti yang ada di mimpiku? Jika benar pasti ia mengalami pendarahan atau luka serius, tapi bagaimana aku mengetahui dengan tepat di mana lukanya? Aku memandanginya, berharap bisa mendapatkan sesuatu, tapi tak ada solusi sampai sang pemilik tubuh bersuara.
"Ken," rintihnya, tangannya meraba-raba.
Aku yang merasa disentuh, langsung menggenggam tangan itu. "Ya, aku di sini, apa kau terluka? Apa berdarah?" tanyaku.
"Ehm," lenguhnya sembari mencoba duduk dan bersandar pada punggung tempat tidurnya. Terlihat jelas dari bentuk selimutnya, ia duduk sembari meluruskan kaki dan menyandarkan punggungnya. "Ya, tak apa, hanya luka lebam, tapi bagaimana kamu tahu?" tanyanya.
"Lebam? Di mana? Apa di perut?" tebakku yang berpikir bisa saja demam tingginya dari luka parah di area perutnya. Rasa sakit yang hebat, kelaparan, dan kedinginan menjadi penyebab gadis itu demam tinggi. Dengan cepat aku mengambil kotak P3K, mengeluarkan salep untuk mengoleksi luka. "Ehm ...." Sejenak aku terdiam berpikir keras bagaimana mengoleskannya.
Tawa kecilnya terdengar, "Kamu itu lucu, biar aku saja yang mengoleskannya sendiri," ucapnya sembari mengambil alih salep itu dari tanganku.
Pada akhirnya, aku hanya mengangguk dan membiarkannya mengoleskan salep di luka lebamnya. Tentu benar, luka itu ada di bagian perut. Tiba-tiba pikiran konyolku muncul.
"Aku bertanya-tanya, jika kamu transparan bagaimana dengan pakaian yang kamu pakai selama ini? Ikut transparan juga atau kamu tidak mengenakan apa pun?" tanyaku.
Tiba-tiba tawa menggema setelah keheningan beberapa saat, "Astaga, Ken, kenapa kamu lucu sekali. Tapi, benar, pertanyaan itu ada benarnya." Seketika tawanya hilang, kembali hening dan sedikit tegang. "Aku masih memakai dress putih yang sama saat berumur 7 tahun. Dress ibu, sekarang dress-nya sepanjang lututku," ungkapnya.
"Ehm, apa kamu merasa lebih baik? Lapar? Dingin?" tanyaku.
Sepertinya ia menjawab dengan senyuman dan anggukan.
"Akan kubuatkan minuman dan makanan," putusku yang langsung bangkit, lalu mengambil nampan dengan mangkok sup ayam di nakas serta gelas yang kosong kemarin. Tak lupa baskom berisi air yang telah dingin dan kain untuk mengompres kemarin.
"Ken," panggil Violet. "Aku mau sup ayam buatan ayah saja," ungkap Violet.
Aku mengangguk, "Baik, Tuan Putri, akan saya hangatkan untuk Anda!" seruku sambil berdiri di ambang pintu dan membungkuk ala-ala pelayan biasanya. Kemudian, melenggang ke dapur.
Ke dapur melewati ruang santai keluarga di mana Doktor Zey tengah duduk dan tampak berpikir keras. Mendengar langkahku semakin dekat ia menoleh, mengetahui aku tengah di dapur, ia pun langsung berdiri dan menghampiri. Wajahnya tampak serius, maka aku menghentikan pergerakanku setelah menghidupkan kompor. Mendekati Doktor Zey dan menatapnya.
"Ken, sebenarnya apa yang terjadi pada putriku? Kamu pasti tahu alasan dia demam, tidak mungkin hanya karena lelah kan? Selama ini ia sudah hidup seperti itu," ujar Doktor Zey yang merasa janggal. Benar, demamnya Violet bukan tanpa alasan, tapi bagaimana aku mengatakannya sedang mengetahui yang sebenarnya saja tidak. Dugaanku masih berupa mimpi yang tak kutahu kebenarannya, tapi dari luka Violet mimpi itu juga ada benarnya.
"Saya tidak tahu, Violet tidak menceritakan apa pun," jawabku pada akhirnya.
"Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya, dan ... aku penasaran dengan temanmu. Vioni Lettusa," ucap Doktor Zey yang membuatku membulatkan mata. "Entah kenapa, aku merasa ada benang merah antara kami dengannya, apa kau tahu tentang orang tuanya?" tanya Doktor Zey.
"Vioni putri dari Amelia Lettus De Hattem, yang kamu tahu sejak kecil Vioni kehilangan sosok ayah. Apa Anda mengenalnya?" tanyaku. Mendengar itu bola mata Doktor Zey membulat sempurna dan menatapku tajam. Ia membeku beberapa saat, sampai ketegangan di wajahnya mulai reda.
"Dia putriku," ucapnya tiba-tiba.
Deg!
Hatiku bagai ditusuk satu anak panah dengan begitu dalam hingga rasanya remuk. Mataku melebar dan memerah, "Apa maksud Anda?"
"Ibu Violet, Alana Lettusa Montheham adalah istri pertamaku, setelah ia meninggal artinya Violet masih bayi, aku kembali ke kota. Violet dirawat oleh ibuku di sini, di Paris aku menikah lagi dengan Amelia dan melahirkan satu putri. Namun, kami bertengkar hebat, ia tidak setuju dengan penelitianku, bahkan menolak keras untuk ke sini tinggal bersama keluargaku. Karena Vioni, aku tetap menanggung biaya hidup mereka dan tidak bercerai. Jadi, Vioni juga putriku," tuturnya dengan gugup.
Mata senduku tertuju padanya, mencoba mencari kebenaran yang disampaikan olehnya. Walau hatiku masih bertanya, "Bagaimana bisa?", tetapi bibirku enggan memberi komentar. "Kenapa Anda tidak menemuinya?" tanyaku pada akhirnya setelah mempertimbangkan kesedihan Vioni selama ini.
"Terlalu sulit untukku, Ken, salahku tidak bisa memilih antara keluarga dan pekerjaan. Amelia tetap menuntutku untuk meninggalkan pekerjaan berbahaya itu jika ingin kembali karena ia tidak ingin terlibat. Pada akhirnya, aku terjerumus ke masalah penelitian manusia transparan itu dan dipenjara cukup lama," jelasnya.
"Jadi ayah memiliki putri lain?" tanya seseorang dengan suara parau. "Karena itu aku tidak penting bagi ayah?" tanyanya didominasi isakan.
"Nak?" Doktor Zey berbalik ke sumber suara.
"Ya, aku tahu sekarang kenapa ayah langsung dekat dengannya bahkan mengizinkannya menyentuh bunga Lotus ibu yang selama ini aku jaga," kata Violet dengan sesenggukan. "Dan Ken, aku menyadari sesuatu, kenapa kamu lebih peka terhadapku daripada ayahku sendiri sekarang. Karena perasaanmu lebih kuat dari perasaan ayahku sendiri," lanjutnya dengan napas terengah. Lalu, angin dingin seakan menerpa. Aku langsung tahu kalau Violet memilih pergi dari sana.
"Violet!" teriakku yang langsung berlari menyusulnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/247088297-288-k90631.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent [TAMAT]
Ficção Científica/evanes·cent/ (adj) Arti:lekas menghilang dan hanya bertahan dalam kurun waktu singkat. Oradour San, Prancis menjadi laboratorium seorang peneliti terkenal yang berhasil membuat organ manusia transparan. Namun, seseorang juga harus menjadi bahan uji...