"Cinta itu rapuh antara memperbaiki atau menghancurkan segalanya. Tapi, cahaya harapan itu hadir sebagai penerang sisi gelapmu."
"Mama akan tiba hari ini dan ia ingin mengenal kalian berdua!" seru Vioni sembari tersenyum pada kami dan merentangkan tangannya. Suasana gadis itu membaik hari ini karena kabar kepulangan Mamanya yang sekaligus ingin mengurus kelanjutan pendidikannya.
Aku tak pernah bertemu dengan mama Vioni atau Nyonya Amelia, tapi belakangan ini aku menaruh rasa penasaran padanya. Bagaimana istri Doktor Zey yang melarangnya melakukan penelitian? Tunggu, apa ada sesuatu di balik larangannya terhadap penelitian yang dilakukan Doktor Zey? Banyak pertanyaan terbesit di kepala setelah bertemu Doktor Forc dan mengetahui beberapa fakta janggal darinya. Salah satunya hilangnya liontin dengan batu berharga untuk mengembalikan manusia transparan menjadi normal.Setiap kali aku memasuki rumah ini, hiasan bertema bunga Camelia selalu mengalihkan perhatian. Ada sedikit perubahan, aku melihat sebuah piano di sudut ruangan, tepatnya di samping tangga. "Piano?" tanyaku dengan tatapan tertuju pada pojok ruang tamu tersebut.
Vioni yang tadinya tersenyum karena antusias menceritakan mamanya, kini menoleh ke belakang. Sedari tadi ia berjalan mundur di depan kami dan bercerita tentang ini itu.
"Oh itu, Mama suka piano tua itu, ia ingin piano diletakkan kembali di sana setiap ia di rumah. Padahal ia tak memainkan piano itu, tapi dengan melihatnya di sana, ia merasa tenang," balas Vioni dengan cerianya.
"Apa aku boleh memainkannya?" tanyaku.
Seketika Vioni menaikkan alisnya, "Hemm? Kamu bisa bermain piano?" tanyanya.
Aku mengangguk, lalu langsung menghampiri piano. Duduk dan meletakkan tas di samping. Sejenak mengamati, lalu sebuah lagu mengingatkanku. Senyum terkembang di bibir, aku memainkan sepenggal nada lagu sedih itu. Entahlah, tapi aku tidak pernah melupakan nada yang membuatku selalu terlelap di malam hari. Sewaktu kecil mama selalu menidurkanku dengan permainan pianonya yang syahdu dan tenang itu.

Begitu selesai aku tersenyum dan mengangkat tangan dari sana. Vioni dan Datta yang berada di kedua sisiku memandangiku dengan mulut terbuka dan tatapan takjub.
"Aku tak pernah tahu kalau kamu bisa bermain piano?"
"Benar, melodi yang menenangkan bukan?" tanya Datta.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba suara tepukan tengan terdengar, kami bertiga langsung menoleh ke arah pintu masuk saat suara high heels yang bertemu lantai juga mendominasi. Perempuan paruh baya dengan highwaist dan kemeja putih, rambut brown bergelombangnya dijepit asal di belakang. Tas ditenteng di tangan kanan dan mata coklatnya tertuju ke arah kami. Pasti ia mama Vioni, ia berjalan ke arah kami dengan senyuman.
"Mama!" seru Vioni yang langsung berhambur ke pelukan mamanya. Aku langsung berdiri di samping Datta dan tersenyum ke arah perempuan yang dipanggil Vioni 'Mama'.
Beberapa saat melihat mereka berpelukan dan berciuman ria, lalu Nyonya Amelia mencubit pipi putrinya. "Putriku sangat cantik dan menggemaskan," pujinya.
"Mama juga masih cantik," balas Vioni, lalu melepaskan pelukannya dan berbalik ke arah kami. "Ma, perkenalkan Ken dan Datta, sahabat Vioni yang sering Vioni ceritakan," ungkap Vioni yang membuat sang mama mendekat.
Aku mengangguk sampai perempuan paruh baya itu berdiri tepat di hadapanku dan dengan berani memandangku lekat begitu lama.
"Kamu pasti, Ken, kamu yang memainkan piano tadi kan?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent [TAMAT]
Science Fiction/evanes·cent/ (adj) Arti:lekas menghilang dan hanya bertahan dalam kurun waktu singkat. Oradour San, Prancis menjadi laboratorium seorang peneliti terkenal yang berhasil membuat organ manusia transparan. Namun, seseorang juga harus menjadi bahan uji...