6. Bukan Wasiat Terakhir

4.4K 620 58
                                    

Tidak banyak yang berubah dalam keseharian Shanum setelah ia menikah dengan Akbar. Mereka tetaplah seperti sebelum menikah yang memang hanya mengobrol seperlunya. Apalagi saat siang hari, Akbar pergi bekerja dan pulang ketika hari sudah mulai sore.

Kini mereka sudah seminggu menikah. Selama itu pula keduanya masih bersikap layaknya orang asing, bukannya suami istri. Bahkan sampai saat ini pun Shanum masih memikirkan juga sering memimpikan Andra.

"Gimana kandungan kamu hari ini?"

Shanum menoleh saat tiba-tiba Akbar bertanya seperti itu kepadanya. Pasalnya setelah seminggu menikah, ini kali pertama Akbar menanyakan perihal kehamilannya.

"Baik-baik aja kok, Bang."

"Gak rewel saat kamu kerja?" tanya Akbar lagi.

Ah ya, Shanum baru paham mengapa Akbar bertanya seperti itu. Jawabannya tentu karena hari ini ia sudah mulai bekerja lagi. Untungnya pekerjaannya berada di dalam ruangan sehingga ia tak perlu khawatir terkena sinar matahari pagi yang kerap membuatnya mual.

"Enggak, Bang."

"Syukurlah. Kamu tau sendiri 'kan kalau Mama sangat ingin mempunyai cucu? Makanya kita disuruh menjaga janin yang ada dalam kandungan kamu dengan baik."

Shanum mengangguk singkat sebagai balasan. Ucapan Akbar itu memang ada benarnya. Karena sejak istri Akbar masih hidup dulu, mertuanya sudah sangat ingin memiliki cucu. Tetapi sayang, istri Akbar meninggal karena sakit yang dideritanya tanpa sempat memberikan Akbar keturunan. Sehingga saat mengetahui kalau ia sedang hamil, mertuanya pun terlihat senang sekali dan tidak peduli kalau calon cucu mereka itu ada karena ketidaksengajaan dan hasil hubungan di luar pernikahan.

"Besok kamu berangkat bareng aku."

"Gak usah, Bang. Aku bisa naik taksi kok," tolak Shanum secara halus. Ia tak ingin menyusahkan Akbar karena harus mengantar-jemputnya.

"Kamu aku anterin. Jangan ngebantah dan jangan ngebuat Mama marah lagi karena aku ngebiarin kamu berangkat sendirian," ujar Akbar tak ingin dibantah yang membuat Shanum mengangkat wajahnya untuk menatap mata sang suami.

"Mama marah ke Abang gara-gara aku? Aku minta maaf, Bang. Maaf karena aku cuma bisa ngerepotin dan jadi beban buat Abang," ujar Shanum tulus. Ia tahu kalau Akbar menikahinya hanya karena keinginan mama mertuanya. Akbar terpaksa bertanggung jawab atas kehamilannya yang padahal bukan laki-laki itu pelakunya. Dan kini malah Akbar pula yang menjadi objek kemarahan sang mama karena ulahnya.

"Sudahlah. Yang jelas besok aku anter."

Akhirnya Shanum hanya bisa mengangguk saja karena tidak ingin berdebat dan membuat Akbar semakin marah. Ini memang salahnya yang tidak memberitahu Akbar kalau mulai hari ini ia sudah kembali kerja. Ia pun berangkat menggunakan taksi karena tidak ingin merepotkan Akbar. Tetapi rupanya apa yang ia lakukan itu salah dan membuat Akbar ditegur oleh mama mertuanya.

***

Shanum hanya berbicara seperlunya ketika mereka makan malam. Begitu juga dengan apa yang dilakukan Akbar. Sehingga suasana makan malam lebih didominasi oleh percakapan mertuanya saja.

"Ngomong-ngomong kandungan kamu baik-baik aja 'kan, Sayang?" tanya Elya seraya menatap Shanum.

"Iya baik kok, Ma."

"Syukurlah. Kalau kamu ngidam dan pengen sesuatu jangan sungkan bilang ke kami semua ya," tambah Elya yang hanya dibalas senyuman canggung juga anggukan singkat oleh Shanum.

Tatapan Elya yang semula tertuju pada Shanum, kini berpindah pada sang anak yang sedang makan. "Kalian ini sudah menikah loh, Bar. Cobalah kamu lebih perhatian sedikit sama Shanum. Masa kamu ngebiarin Shanum berangkat dan pulang kerja sendirian. Biar bagaimanapun Shanum ini sedang hamil loh. Mama gak pengen terjadi apa-apa sama Shanum dan calon anaknya."

Unpredictable WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang