Aku menatap diriku di cermin. Jaket hitam panjang dan celana komborku terlihat cukup sopan untuk menemui orang yang baru mengenalku sekaligus jauh lebih tua dariku. Aku mendengkus lumayan keras. Ternyata waktu santaiku hari ini hanya berlangsung dari pulang sekolah sampai tidak ada satu jam setelahnya.
Setelah sibuk membantu tetangga baruku, Febi pulang tidak lama kemudian. Pekerjaanku terlihat setelah itu. Membereskan meja jualan ibu, mencuci piring, dan yang terakhir adalah melayani orang-orang laundry sampai jam bukanya berakhir—lima belas menit sebelum Magrib. Kupikir setelah Magrib aku bisa rebahan sambil belajar materi TPA, tapi ternyata tidak.
Aku berjalan menuju ruang tamu. Samar-samar aku mendengar suara ayah sedang mengenalkan Lala pada tamu yang merusak ekspetasiku malam ini.
"Nah, itu anak saya yang pertama. Namanya Ulfa," ujar ayah begitu aku terlihat di sekitar mereka. Tunggu, aku mendadak menhentikan langkah. Karena ulahku itu, mereka kini menatapku. Aku lanjut berjalan sambil berpikir, mereka baru berkenalan, ya?
Aku sepertinya melupakan satu hal. Bu Beti mengira Febi adalah anak Pak Koko. Jadi, tidak salah kalau ayah tidak mengenalkan keluarganya sebelumnya. Kalaupun iya, tidak mungkin sampak ayah menunjukkan wajah kami pada mereka. Jadi bagaimana ceritanya Aron tahu nama panjangku sebelum ayah mengenalkan?
Satu-satunya tempat kosong di situ adalah di samping ibu, aku duduk di sana. Di samping kiriku ada Aron, tapi dia duduk di kursi yang berbeda dengan kursiku, menghadap ke arah sembilan puluh derajat dari arah mataku menatap. Aku meliriknya dengan sengaja. Dia tidak sedang melihatku.
Saat aku berniat belajar tadi, Lala mengetuk pintu kamarku. Dia bilang rumahku kedatangan tamu dan ayah menyuruhku ikut bergabung dengan mereka. Malam ini keluarga Pak Koko—ayahku—dan keluarga Pak Darma—tamu keluargaku—sedang dalam proses pengakraban, aku menyimpulkan begitu. Bagaimana tidak? Kami saling bertukar informasi tentang kehidupan masing-masing. Kesibukan kami sehari-hari, sekolahku, sekolah Lala, kuliah Aron, usaha ibu, dan lainnya.
Pak Darma bercerita alasannya pindah ke sini. Ayah belum bercerita pada ibu, Lala, dan aku. Ibu pun ingin tahu alasannya. Biasalah, mulutnya selalu pandai bicara. Aku sebenarnya tidak ingin tahu, kalaupun tahu ya tidak apa-apa. Telingaku bersiap-siap mendengarkan dengan baik. Aku menampakkan ekspresi terbaik.
"Dulunya kami mengontrak, Bu, karena rumah yang sudah kami bangun terbakar," ujar Pak Darma membuka cerita.
"Ya Allah, turut berduka cita, ya, Pak, Bu, Dik," ibu langsung menanggapi dengan ekspresi sedih yang murni.
Para orang tua saling menguatkan satu sama lain sebelum cerita berlanjut. "Kontrakan itu lumayan luas, tapi di satu atap itu ada dua keluarga yang tinggal dan cuma dipisahkan dinding. Kami tidak nyaman. Tetangga seatap kami masih bayi anaknya, rewel terus. Akhirnya setelah sabar selama setahun kurang lebih, bekerja keras selama itu dan kami rasa uang kami cukup untuk membeli rumah, kami mulai cari rumah yang pas. Syukurnya Pak Koko kenal saya, jadi rumah murah itu jatuh ke tangan saya," ungkap Pak Darma.
Cerita berlanjut. Kebakaran itu terjadi saat siang bolong. Kata Pak Darma, tetangga-tetangganya pasti sedang beristirahat, kalau tidak begitu, mereka sedang bekerja sehingga tidak menyadari jago merah sedang berusaha melahap rumah tetangganya. Sebagian harta mereka ikut hangus. Dengan hilangnya harta itu, mereka belum mampu membangun rumah lagi dan memutuskan mengontrak selama itu sambil bekerja keras agar bisa membangun rumah lagi, atau membeli rumah paling tidak.
Bulu kudukku merinding sepanjang laki-laki itu bercerita. Aku sering melihat ibu melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu. Dia memasak, juga mencuci baju, beres-beres rumah, dan sebagainya. Aku takut ibu lupa kalau dia sedang memasak, dan akhirnya masakannya kering karena terus dipanasi dan kompor bisa meledak. Meskipun kebakaran di rumah Pak Darma bukan karena itu, tapi itu bisa menjadi salah satu penyebab kebakaran. Cerita nyata itu seharusnya membuat ibu sadar kalau kebiasaannya selama ini tidak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Подростковая литератураTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...