26) Sedikit Tentang Evano

0 1 0
                                    

Aku dan Febi akhirnya berhenti berlari tepat di depan halaman yang tadi dipakai untuk mengeluarkan suara. Tempat itu kini lengang, hanya ada beberapa laki-laki di panggung kayu berlalu lalang. Kami membungkuk dengan tangan terletak di atas lutut, sama-sama berebut oksigen. Sebenarnya kami tidak tahu apa siswi-siswi tadi mengejar kami. Yang penting kami kabur, itu yang ada di pikiranku.

"Gila! Namanya aja Impian Indonesia. Siswinya sinting kayak gitu. Bisa-bisanya dia ngamuk ke kamu yang nggak salah apa-apa," ujar Febi kemudian. Dia pulih dari kekurangan oksigen lebih cepat. Pelan-pelan dia menegakkan tubuh. Aku masih terengah-engah. Ucapan Febi tidak kugubris.

"Laku juga Evano di sini. Sayangnya yang naksir kayak gitu," Febi berujar lagi dan aku mengabaikannya seperti tadi.

"Udah, yuk, ke tempat lomba. Udah hampir sepuluh menit, nih," kataku lalu terbatuk-batuk. Tidak lupa terima kasih kuberikan padanya karena sudah mau menemani dan menyelamatkanku.

Febi menahanku dengan ucapannya. "Kita belum selesai ngobrol soal di atas truk tadi," katanya dengan serius. Aku tidak melepas mataku dari matanya. Tatapanku serius meski mataku menyipit. Sinar matahari yang menimpa wajahnya membuatnya silau.

Napas Febi lolos dari hidungnya dengan begitu berat. Dia memosisikan tubuhnya lurus dengan posisiku. Tangannya bergerak lalu mendarat di kedua bahuku dengan sedikit tepukan. "Mungkin nggak sekarang jantungmu berdetak lebih cepet waktu ketemu Kak Aron. Mungkin nanti. Yang penting jangan berpikir buat tutup hatimu dan balik ke Evano lagi, Fa."

Aku melangkah setelah mengangguk dan tersenyum singkat. Kami sama-sama membalikkan badan. Aku berjalan ke arah selatan sedangkan Febi ke arah sebaliknya.

Berjuang, gagal, lalu bangkit lagi. Hidup memang lebih sering berjalan seperti itu, meski tidak sedikit yang memutuskan berhenti setelah mengalami fase kedua. Namun, suatu hari kemudian pasti akan kembali mengulang fase pertama entah untuk hal yang sama atau tidak. Tiga fase itu memang tidak mungkin tidak terjadi dalam kehidupan, dalam hal apa pun termasuk asmara.

Langkahku gontai. Kepalaku sering menunduk untuk memejamkan mataku. Kelas duabelas, masa di mana seharusnya aku fokus mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi, masa di mana aku seharusnya menikmati menit demi menit menuju berakhirnya masa SMA-ku, masa yang katanya masa terindah selama berada di bangku sekolah, malah berjalan seperti ini. Sama sekali tidak patut untuk ditiru. Aku ingin mempunyai masa SMA yang normal, tidak terjebak dalam urusan cinta-cintaan tidak jelas ini.

Bodohnya meski otakku menyadari ini semua membodohi, aku tetap tidak bisa menarik diriku keluar dari lingkaran itu.

Febi memang benar. Aku mungkin harus menunggu lebih lama untuk tahu hasil sebenarnya. Kesimpulan yang kuambil terlalu cepat. Detak jantungku, perasaan aneh saat menyukai seseorang, keinginan tersenyum saat diperlakukan dengan manis, mungkin belum bereaksi sekarang, tapi suatu saat pasti akan seperti itu. Aku menelan fakta-fakta itu dengan agak kesulitan.

"Inget, Fa. Nanti kalok pilihannya cuma dua, kamu sama orang yang kamu cintai, atau kamu sama orang yang cinta sama kamu, pilih yang kedua. Paling nggak saat itu kita tahu kalok kita harus berusaha ngubah perasaan kita ke dia. Kalok pilihan pertama, nggak ada jaminan kayak gitu." Aku mendengkus lalu berjalan lebih cepat. Aku tidak menampik semua kebenaran itu.

***

Hari ini aku tidak bertemu dia, hanya sekedar melihatnya dari kejauhan sedang tertawa dengan seorang siswi. Aku pikir itu bukan masalah, tapi tetap menjadi bahan menyenangkan untuk hati dan pikiranku debatkan. Aku dan Evano belum pernah tertawa selepas mereka melakukannya.

Kak Aron tidak menjemputku hari ini. Dia masih disibukkan dengan kuliahnya, katanya, dan tidak bisa meninggalkannya walau sebentar untuk membawaku ke rumah saja. Itu terdengar baik untuk diriku. Tadi bahkan aku tersenyum setelah membaca SMS-nya. Aku melompat dari atas truk dan mendarat dengan sempurna, sayangnya pikiran-pikiran benalu di kepalaku tidak sempurna rontok.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang