Febi cemberut. "Ada pembagiannya juga, ya? Aku baru tahu, loh."
"Nggak papa. Kamu fokus latihan selama ini jadi nggak tahu apa-apa. Nanti buka aja file yang aku kirim digrub angkatan. Kalok tenggelam, aku kirimin lagi. Kalok kita nggak dibagi, takutnya ada lomba yang nggak ditemenin suporter," ujarku. Barusan Febi mengajakku melihatnya mengikuti lomba, tapi aku tidak bisa.
Aku mendapat tanggung jawab menemani lomba kasti. Itu bukan pilihanku, tapi aku mendapatkan itu hari ini. Tiga hari sebelum lomba dimulai, aku dan teman-teman setimku mengadakan undian. Kami membuat gulungan-gulungan kertas kecil yang ditulisi nama-nama perlombaan hari kesatu sampai hari kelima lalu dijadikan satu di atas meja menurut hari pelaksanaan lomba. Masing-masing dari kami mengambil satu kertas dari semua hari yang ada. Aku mendapatkan kasti untuk hari pertama meski aku ingin mendapatkan menyanyi dangdut.
"Ribet. Kenapa nggak dibagi gini, misal kelas IPA 1 sama IPA 2 suporter lomba masak, gitu?"
Aku menggeleng. Ada yang mengusulkan seperti itu, tapi jumlah suporter di setiap kelas tidak sama. Dengan itu pasti ada selisih antara suporter lomba satu dengan lainnya. Juga karena aku ketua mereka, mereka mengira aku pasti memilih sesuai seleraku sendiri kalau pembagiam suporternya memakai cara seperti yang disebutkan Febi barusan. Cara paling adil untuk kami adalah dengan undian, meski memakan waktu lama dan seperti yang Febi katakan, ribet. Untungnya teman-temanku bisa bertanggungjawab semua. Aku dan mereka mendapat jatah membuat gulungan kertas yang sama. Kami mengerjakannya di rumah dan selesai tepat waktu.
"Gibran nyuporterin apa, Fa?" tanya Febi. Aku menatapnya heran. Masih sempat dia memikirkan mantannya?
Aku mengabaikan tanyanya. Memberinya semangat untuk melakukan yang terbaik adalah pilihanku. Aku menepuk-nepuk bahunya, menyalurkan semangat di tubuhku sedikit banyak. Ketika baru melangkah satu langkah, Febi memanggilku. "Di sini ada Evano, Fa. Kuatin hatimu, inget kamu udah punya Kak Aron. Jangan goyah! Awas kamu kalok pulang-pulang dari sini terus galau."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk dua kali dengan pelan sebagai jawaban. "Udah, ya, aku pergi." Febi pun melepasku. Aku berkata pada Nadin untuk menunggu sebentar lagi. Masih ada satu urusan yang belum aku selesaikan di aula ini.
"Tolong videoin, ya, Mel. Jangan lupa, ya," kataku sambil menyerahkan handphone-ku padanya. Meli mendapat tugas menyuporteri lomba menyanyi dangdut hari ini. Tanganku melambai sebelum akhirnya menemui Nadin. Kami keluar dari aula. Sinar matahari yang hangat menerpa tubuhku yang tidak terlindungi seragam.
Setelah apel pembukaan tadi setiap murid dari semua sekolah diberi waktu bersiap-siap selama sepuluh menit. Aula Smanasia yang luas menjadi markas tiga sekolahan. Smanasia sendiri entah bermarkas di mana.
"Gila, sekolah ini luas banget, jauh dari yang aku kira," ungkap Nadin sambil tolah-toleh ke kanan dan kiri dari tadi. Aku melakukan hal yang sama. Gedung bangunan sekolah ini bukan main bagusnya. Sebenarnya model bangunannya tidak jauh berbeda dari model bangunan sekolah-sekolah pada umumnya. Jendelanya berbentuk segi empat, ada gorden yang disingkap, ada juga yang dibentangkan. Pintunya juga persegi panjang polos. Mungkin karena cat dindingnya yang memakai warna kesukaanku membuatku mengagumi bangunan yang sebenarnya biasa saja itu. Juga karena warna catnya tidak bercampur dengan noda sedikit pun, hal yang aku inginkan terjadi di sekolahanku.
Lomba kasti dilaksanakan di lapangan hijau yang berada di belakang gerbang belakang. Di luar area sekolah tepatnya, tapi tetap milik Smanasia.
"Wih, udah rame aja! Temen-temen kita yang mana, nih? Pada pakek putih abu-abu semua," ujar Nadin begitu menginjakkan kaki di tanah lapang yang ditumbuhi rumput yang mulai mengering.
Aku ikut mengedarkan pandangan. Mereka tampak kecil dari pandanganku. "Cari, yuk. Nggak mungkin kita cuma diem di sini," kataku. Aku jadi berpikir, kalau nanti sekolahku yang menjadi tuan rumah perlombaan, lalu mau di mana lomba kasti ditempatkan? Lomba lari? Secara sekolahku tidak punya lapangan hijau. Pikiran itu hanya lewat sekilas, setelah itu aku kembali fokus menyusuri teman-temanku di lapangan luas ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Fiksi RemajaTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...