"Bilangnya aja nggak mau bareng kita gara-gara mau dijemput ayah. Eeeh, nyatanya. Plot twist-nya meresahkan sekali, Bun."
Dugaanku benar. Malam ini Febi dan Alfa meneleponku untuk mengungkit kejadian sore tadi. Awalnya aku mengabaikan dering teleponku, tidak menjawab ataupun menolak. Aku membiarkan telepon itu mati sendiri, tapi mereka melakukannya berulang-ulang sampai menggangguku membaca cerita.
Aku memutar bola mata kesal. Baiklah, saatnya mengklarifikasi kesalahan netizen memahami kejadian yang mereka lihat sore tadi. "Kak Aron kan bilang dia nggak sengaja nguping obrolan kita," ujarku dengan menekankan setiap kata, "Kalian harusnya paham, dia barengin aku sore tadi cuma gara-gara kebetulan dia di sekitar situ. Nggak sengaja." Napasku keluar dengan kasar. Ibu tadi juga mengejekku mirip seperti itu begitu aku masuk rumah. Aku maklum. Hari ini kali pertamanya mereka melihat aku pulang diantar laki-laki, tapi responnya tidak harus seperti itu juga, kan?
"Akhirnya kamu mau juga ngikutin sarannya Alfa. Semoga lancar, ya. Dan langgeng mestinya."
"Tambahin, langgeng hubungannya, bukan pdktnya. Langgeng pdkt doang buat apa," timpal Alfa.
Febi pasti menyinggung saran Alfa yang kupikir tidak masuk akal itu. Aku menggeleng. "Aku nggak netapin dia buat jadi orang baru, kok." Aku serius. Meskipun beberapa hari yang lalu ayah menyarankan hal itu juga untuk cepat move on, aku tetap tidak akan mengikutinya.
"Udah nggak ada yang mau diomongin, kan? Udahan dulu, ya. Aku mau lanjut baca cerita," kataku.
"Ntar dulu! Aku belum ngomong apa-apa." Alfa membentuk tanda stop dengan tangannya.
"Lah, terus dari tadi kamu ngapain kalok nggak ngomong? Makan?" Aku memutar bola mata. Kupindahkan bantalku dari atas pahaku ke belakang punggung. Aku bersandar di dinding dialasi bantal.
"Belum ngomong banyak maksudnya. Dih, gitu aja nggak paham."
"Ya kamu yang nggak bener ngomongnya!" Aku tambah sewot. "Cepetan mau ngomong apa lagi?"
Alfa berdehem beberapa kali sebelum bicara. "Gimana rasanya dibonceng cowok kayak tadi? Deg-degan? Rasanya mau pingsan?" Alfa menaikturunkan kedua alisnya. Kalau aku menautkan keduanya.
"Apa-apaan? Kamu tuh cowok kok kepo urusan cewek. Cowok beneran nggak, sih?" ejekku. Tidak apalah, mereka juga sudah mengejekku tadi.
"Halah, Al! Kamu tuh jangan pura-pura bego. Pasti senenglah Ulfa. Bayangin aja kamu ada di posisi Ulfa. Selama ini jomlo, nggak pernah punya pasangan, terus tiba-tiba ada cewek yang ngajak kamu pulang bareng," ujar Febi mendramatisasi suasana.
"Terseraaah." Aku tahu tidak semua kebenaran harus diberitahukan dan tidak semua orang mau menerima kebenaran. Sekali lagi aku meminta pada mereka untuk mengakhiri video call tidak jelas malam ini. Niatku menyelesaikan membaca sedang menggebu-gebu. Selain itu, grub kelasku terus memunculkan notifikasi adanya pesan baru. Mereka sedang membicarakan lomba yang diberi tahu kepala sekolah tadi sore. Aku juga ingin tahu.
"Alasan Ulfa aja itu, Al. Dia pasti mau ngobrol sama Kak Aron. Ya udah, kita jangan ganggu Ulfa di-pdkt-in. Nanti kita disabet Kak Aron."
Aku sudah bilang terserah, kan? Yang penting sekarang wajah menyebalkan mereka sudah hilang dari hadapanku, begitu juga suaranya. Aku mendengus sambil membuka ruang obrolan kelasku. Kenapa Alfa ikut-ikut mengejek, sih? Dia selama ini tidak seperti itu. Yang kutahu, dia adalah cowok yang agak pendiam. Sikapnya yang paling menonjol dari pengamatanku sejak SMP adalah dia tidak suka ikut campur urusan orang.
Oke, aku tidak bisa menyalahkan Alfa yang berubah. Semua orang berhak dan bisa saja berubah. Orang yang paling tepat aku salahkan adalah Kak Aron. Kenapa juga dia ada di dekat halte sore tadi? Kalau dia sekedar menonton perdebatanku dan teman-temanku tidak masalah. Masalahnya dia sampai mendekat, dan tiba-tiba mengatakan akan memulangkan aku dengan selamat. Ejekan ibu, Febi, dan Alfa tidak akan sampai di telingaku andai dia tidak menawarkan pulang bersama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Fiksi RemajaTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...