"Bu, besok aku pulang sore lagi. Aku mau bawa bekal aja biar hemat." Aku sedang membantu ibu mencuci piring setelah selesai makan malam bersama. Lala ikut membantuku, dia yang membilas piring kotor. Ibu yang menatanya di rak dekat wastafel. Hanya ayah yang bersantai saat ini.
"Kakak ngapain pulang sore terus dari kemarin? Udah gitu pulangnya bareng Kak Aron terus. Kakak pacaran dulu, ya?" Lala menyahut.
"Kamu tuh masih kecil, isi otaknya kok pacaraaan aja. Kakak banyak kerjaan di sekolah. Kemarin kumpul sama kepala sekolah. Hari ini musyawarin sesuatu. Besok dan seterusnya kumpul bikin yel-yel. Kakak jadi ketua suporter," jawabku.
"Suporter buat apa?" tanya ibu. Aku menatapnya, lalu teringat hanya ayah yang sudah kuberi tahu tentang perlombaan itu. Itu pun karena ayah bertanya. Aku menjelaskan sesingkat-singkatnya tentang acara perdana di sekolahku itu.
"Ya ampun Ulfa! Dari sekian banyaknya lomba, bisa-bisanya kamu cuma jadi suporter." Ibu jelas sedang mengejekku. Kata "cuma" yang dia ujarkan mengartikan kalau peranku di perlombaan itu tidak patut dibanggakan. Ekspresinya dan nada bicaranya lebih menjelaskan maksud ucapannya.
Aku mendengus. "Aku ketuanya para suporter, Bu. Ke-tu-a," aku berusaha meninggikan pangkatku. Sambil mencuci sendok, aku menjelaskan kalau suporter di perlombaan ini bukan sekedar suporter-suporteran. Aku dan teman-temanku yang memperoleh tugas ini harus benar-benar bisa menempatkan diri menjadi suporter. Selalu terlihat ceria, berenergi, dan semangat. Poin utama perlombaan ini ada pada tim suporter sekolah. Kalau suporter sekolah baik, maka skor perlombaan dari sekolahku akan bertambah dari hasil aslinya. Setelah menjelaskan panjang dan lebar, aku harap ibu mengerti di mana letak istimewanya peranku.
"Kok bisa kamu yang dipilih? Temen-temen kamu pada buta apa? Orang sering rebahan kayak kamu kok dijadiin ketua." Astaga ibu! Untungnya aku masih sadar. Kalau tidak, pasti piring di tanganku sudah kulempar ke lantai dan terjadi keributan yang bukan main di dapurku.
Aku masih dalam keadaan emosi. "Rebahan dari mana, sih, Bu? Tiap hari aku ke pasar, angkat-angkat panci, bantu Ibu masak, ngelayanin pembeli, ngurusin laundry. Ibu yang-" Aku hampir bilang kalau ibu yang buta. Untungnya mulutku bisa menahan diri. Aku menatap ibu tidak percaya. Kalimat barusan kuucapkan dengan satu tarikan napas. Napasku menjadi tidak beraturan. Sebenarnya masih ada banyak pekerjaan yang selalu aku lakukan setiap hari. Aku kembali fokus mencuci piring sambil pelan-pelan mengembalikan emosiku ke asalnya.
Kupikir percakapan ini selesai. "Kamu itu," ujar ibu datar. Entah dia sengaja atau tidak menabrakkan piring yang dia pegang ke piring yang sudah duduk manis di rak. "Kalau ada orang nanya sekalian komentar itu dijawab tanyanya aja. Jangan malah komentarnya. Kamu itu tenyata suka ngurusin hal-hal nggak penting."
"Masalahnya yang Ibu komentarin itu nggak bener," jawabku.
"Udah, udah. Ibu sama Kakak ini berantem terus. Tadi ngomongin apa jadinya malah ke mana." Lala menengahiku dan ibu. Dasar anak kecil, cepat sekali dia lupa. Padahal dia yang membuat percakapan ini melebar ke mana-mana.
Kami melanjutkan mencuci piring sambil mengunci mulut. Pikiranku menemani tanganku. Mereka sama-sama bekerja. Setiap sekolah yang mengikuti perlombaan itu wajib mempunyai yel-yel. Tidak hanya satu. Paling tidak lima, lebih dari itu jauh lebih baik. Tanggung jawab ini besar sekali ternyata setelah aku pikir-pikir lagi. Dari dua ratus murid, hanya beberapa yang mengikuti lomba. Kira-kira seratus empat puluh anak yang bertugas menjadi suporter. Dan aku harus mengurusi orang sebanyak itu.
Aku dipilih menjadi ketua suporter karena kata teman-temanku, aku memenuhi tiga kriteria seorang suporter yang diminta di perlombaan ini; ceria, berenergi, dan semangat. Ya Tuhan. Banyak kok teman-temanku yang seperti itu. Dari sekian banyaknya temanku yang tidak ikut lomba, kenapa aku yang dipilih?

KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Novela JuvenilTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...