5) Nomor Tidak Dikenal

1 2 0
                                    

Entah karena bosan dengan usahanya move on yang itu-itu saja atau ucapan Alfa sangat ampuh mempengaruhi Febi, dia melakukan cara itu untuk melupakan Gibran begitu pulang sekolah. Aku tidak berusaha menyadarkannya betapa sia-sia usaha yang dia lalukan itu. Dia tipe orang yang hanya akan berbuat sesuai kemauannya. Lagi pula, cara yang menurutku tidak tepat bisa saja tepat untuk orang lain. Sekarang aku sedang bersamanya di halte dekat sekolah, menunggu bus datang sekalian memperhatikan setiap siswa yang keluar dari gerbang.

"Kok nggak ada yang bikin hatiku sreg, ya." Aku menoleh padanya.

Aku menatapnya heran. Dia tidak sadar apa kalau dia baru memulai? "Itu gara-gara di pikiran sama hatimu masih ada Gibran," jawabku lain dari yang aku pikirkan.

"Nggaklah. Aku kan cuma lihatin sekilas, belum juga ada sehari, jadi ya belum nemu." Febi mendongak. Wajahnya berseri-seri saat ini. "Nanti pasti ada orang yang seketika bikin aku deg-degan, juga sebaliknya. Aku cuma harus nemuin dia, habis itu pdkt-in kayak waktu cowok deketin cewek. Atau kalau aku beruntung, cowoknya yang deketin aku." Febi mengucapkan semua itu dalam sekali tarikan napas sambil menangkupkan kedua tangannya

Aku tidak menanggapi. Ingin rasanya bisa percaya diri seperti Febi, tapi aku tidak bisa. Bagiku cara paling tepat untuk melupakan adalah dengan sadar dan rela kalau hal yang ingin aku lupakan memang bukan untuk aku miliki, meski cara itu belum terbukti juga benarnya dalam hidupku.

Sebagian diriku juga merasa takut kalau hasil pencarianku akan berakhir sama seperti perasaanku pada Evano.

"Kamu nggak mau ikut cari orang lain?" tanya Febi.

"Emang aku udah pernah dapetin, kok sampai mau cari yang lain?"

"Iya, sih. Kamu nggak pernah pdkt, yang deketin juga nggak ada, tapi maksudku, kamu nggak mau gitu ngelupain Evano dengan cari yang lain? Coba aja, Fa. Siapa tahu berhasil."

Aku tertawa tanpa paksaan. Ternyata, paling tidak, aku belum terlihat merelakannya, ya? Tidak ada yang mau mengakui prestasi buruk seperti itu, termasuk aku."Kamu pikir aku belum lupa sama dia? Hei, kamu tinggal di mana, sih? Hidup di zaman apa? Aku udah lama lupa sama dia," jawabku berusaha senatural mungkin. Sialnya, itu tidak terdengar seperti harapanku.

"Aku nggak percaya." Tuh, kan. Ucapanku pasti terdengar berbohong.

***

Aku memilih untuk merebahkan badan begitu pulang dari sekolah. Sedangkan takdir memilihkanku kegiatan lain untuk kukerjakan.

Kedua tanganku cekatan melayani pembeli ibu. Menjelang sore hari yang agak mendung ini keringatku bercucuran entah sudah berapa liter. Ibu sendiri dari setengah jam yang lalu sampai sekarang sedang mencuci baju-baju laundry sambil menyetrika.

“Makasih Kak Ulfa,” ujar seorang wanita dengan suara yang sengaja dibuat mirip anak kecil. Sepertinya dia sedang mengajari bayinya berterima kasih.

“Sama-sama, Adiiik,” jawabku riang.

Tepat setelah itu ibu muncul dari dalam rumah. Akhirnya pekerjaannya selesai juga. Ibu cekatan membantuku membungkusi lauk.

“Sebentar lagi bakal nambah pelanggan baru, nih. Iya, kan, Siam?” Nada bicara salah satu dari ibu-ibu itu terdengar sedang menggoda ibuku. Aku menatapnya, memastikan apakah dugaanku benar.

Ibu meggeleng, raut wajahnya tidak setuju. “Ya kalau dia suka lauk beginian, alhamdulillah. Beneran jadi pelanggan baru. Tapi kalau enggak?” ujar ibu sambil terus membungkusi lauk yang mereka beli.

“Aduh, Siam! Emangnya dia orang apa sampai nggak doyan makanan begini, hah? Dia juga dari desa, kok. Masa kamu nggak tahu itu? Padahal ayahnya Ulfa yang dapetin dia. Jangan-jangan kamu juga nggak tahu Ulfa?” Aku merasa sedang diajak bicara sehingga aku mendongak. Aku malah dari awal tidak paham tentang apa yang ibu-ibu ini bicarakan. Pelanggan baru dari mana? Itu pertanyaanku sekarang, tapi aku menyimpannya. Nanti kalau sudah agak santai, aku akan bertanya privat pada ibu.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang