Latihanku, Febi, dan semua temanku selama ini telah tiba di puncaknya. Kemarin aku sempat takut, bagaimana kalau aku tidak bisa memimpin timku? Aku menyembunyikan ketakutanku dengan terus berlatih bersama teman-teman. Dengan sudah hafalnya teman-teman pada lirik ragu, gerakan, dan koreografi kecil-kecilan yang kami buat, itu membuatku sedikit lebih tenang dan aku terus berusaha menenangkan diriku.
Pagi aku bangun sebelum Subuh karena alarm. Hari ini aku tidak dibebani tugas sedikit pun oleh ibu. Orang tuaku, terutama ayah memberiku semangat besar-besaran sebelum aku berangkat. Lala yang biasanya abai pada kegiatan sekolahku kali ini ikut menaruh perhatian. Mendadak pagi tadi aku punya keluarga yang sangat suportif.
"Udah bawa minum, kan?" tanya Kak Aron di depan gerbang sekolah.
Sebenarnya guru dan beberapa temanku sudah mengurusi konsumsi murid-murid, termasuk air mineral. Aku tetap membawa dari rumah karena lebih nyaman begitu. Tidak harus bolak-balik menyoblos dengan sedotan, tidak menambah banyaknya sampah. Kak Aron mengingatkanku semalam. Kami punya pendapat yang sama tentang air minum.
"Ya udah sana masuk. Semangat, ya, Ketua!" Kak Aron tersenyum, lebih lebar dari biasanya. Tangannya mendarat di puncak kepalaku pertama kalinya. Dia mengacak sedikit rambutku.
"Hati-hati, Kak. Doain sekolahku bisa, ya." Aku balas tersenyum, kemudian pergi sambil melambaikan tangan.
Aku langsung menuju aula sambil menenangkan jantungku. Tempat itu dijadikan markas oleh teman-teman seangkatanku. Di sana kami mengadakan rundingan dadakan, menyiapkan perlengkapan, mengeluh, dan lainnya selama persiapan lomba perdana ini. Bahkan pagi ini Febi dipoles di tempat umum ini. Aku menyempatkan diri menengoknya. Teman-teman timku belum datang semuanya.
Perlombaan itu diadakan lima hari jadinya, tidak seperti rencana awal yang tadinya satu minggu. Semuanya ada dua puluh perlombaan, jadi per hari ada empat perlombaan yang dilombakan. Febi maju di hari pertama, juga tim kasti, adu pantun, dan melukis. "Duh, cantiknya-cantiknya aku tergila-gila." Niatku mau memuji Febi ala kadarnya, tapi aku malah menyanyikan potongan lagu Demam Unyu-unyu yang dibawakan Iqbaal Ramadhan dan teman-temannya.
"Astaga, kamu ini berdosa banget, Ulfa," sahut Febi. Aku terkikik. Ternyata dia bisa mengenaliku meski dia menutup mata.
"Diem, Febi! Duh, kan, hampir mlenceng, nih, eye shadow-nya." Nadin yang memoles Febi pagi ini terlihat begitu serius.
"Lah? Yang gerak mulutku apa hubungannya sama mata? Kamu, tuh, yang nggak profesional," ejek Febi.
"Diem, nggak! Udah, Fa, jangan diajak ngomong. Awas kamu kalok ngomong lagi, Feb. Nggak bakal aku terusin. Biarin kamu nggak kelihatan sempurna."
Aku pun menurut, Febi juga. Dia langsung menipiskan bibirnya. Aku memberi mereka berdua semangat sebelum pergi mengurusi aksesoris yang akan dipakai tim suporter. Sederhana sekali aksesoris kami, hanya berupa kain berwarna merah marun—seperti warna jas almamater kami—yang dipotong sesuai ukuran tangan, lalu dibordir dengan tulisan "Smatajar" di bagian tengah. Di bagian ujungnya dibordir dengan nama kami masing-masing. Kain itu nanti kami ikat di pergelangan tangan kami. Aku sengaja membagikannya hari ini untuk antisipasi temanku yang sering lupa.
Pukul tujuh tepat kami berangkat. Teman-temanku yang berlomba diangkut mobil kepala sekolah. Barang-barang mereka ditaruh di bagasi mobil. Aku dan teman-teman lainnya naik dua truk besar dan berhimpit-himpitan. Jantungku bedegup kencang begitu rombonganku semakin mendekati tuan rumah perlombaan ini. SMA Impian Indonesia. Smanasia, begitu orang-orang mengenal sekolah swasta terkenal itu.
"Ulfa, kamu oke?" tanya Cakra. Sekarang aku sudah sampai. Beberapa temanku sudah ada yang turun. Aku meraih tangan Cakra yang memang membantu siswi-siswi turun dari kendaraan tinggi ini.
"Aku kelihatan kenapa-napa, ya?" tanyaku begitu menapaki aspal.
"Iya, kayak gugup gitu. Kamu harus bisa mimpin temen-temen. Aku lomba hari ini, nggak bisa gantiin kamu kalok kamu nggak siap. Harus siap, ya, Ulfa! Suporter bener-bener berpengaruh di sini."
"Iya-iya. Lagian aku nggak papa, kok." Aku hanya ... entahlah. Aku memutuskan bergabung dengan yang lain. Belum sempat aku mencapai tema-temanku, kepala sekolah memanggilku.
Beliau menyuruhku pergi ke stand pendaftaran. Aku lupa kalau setiap sekolah yang baru datang harus melapor ke panitia lomba yang dibentuk tuan rumah perlombaan. Burhan menemaniku. Aku mengisi formulir yang diserahkan panitia itu padaku, nama sekolah, jumlah siswa yang datang, nama ketua perlombaan, eh? Buat apa ditanyakan?
"Nggak penting buat kita tahu. Isi aja," bisik Burhan.
"Emangnya siapa? Aku nggak pernah denger ada yang nyandang jadi ketua perlombaan. Cakra, ya? Nama panjangnya siapa?" Telingaku bersiap-siap mendengarkan nama yang akan Burhan sebut, sedangkan tanganku bersiap-siap menulisnya.
"Loh, Cakra dari mana? Kamulah ketuanya. Suporter di sini lebih tinggi statusnya daripada yang ikut lomba. Kamu pikir aku panggil kamu 'Bu Ketua' itu ketua apa kalau bukan ketua perlombaan?"
Burhan tidak memberiku waktu untuk terkejut lebih lama. Dia menyuruhku segera menulis namaku sendiri. Aku ketua perlombaan? Ini gila! Aku pikir aku hanya menjadi ketua suporter. Kalau tahu begini, aku pasti akan memperjuangkan penolakanku.
"Habis ini langsung baris rapi sambil nyanyi yel-yel. Di sana ada juri yang nilai kedatangan kalian," ujar panitia itu.
Oksigen di sekitarku kuhirup sebanyak-banyaknya dulu sebelum aku mengkoordinir teman-teman untuk berbaris. Burhan membantuku. Dalam waktu lima menit kami sudah berbaris rapi di depan gerbang megah Smanasia. Aku berdiri paling depan. "Smajatar!" seruku mengawali perjuangan tidak main-main ini. Target sekolahku adalah menjadi pemenang perdana di perlombaan perdana ini.
"Terkenal kompak-eeee!" Tubuhku merinding saat itu juga.
Ada perubahan susunan yel-yel yang akan sekolahku bawakan. Kami bertepuk tangan terus-terusan dengan tempo sedang. Sambil berjalan aku dan teman-teman menyanyi. "Selamat pagi, Kakak-kakak semua. Kami datang dari Taman P'lajar. Untuk jadi pemenang yang perdana. Lihat aja, kita bisa." Itu lirik lagu yang diminta Burhan sore itu waktu aku ditabrak temanku. Lirik lagu itu ide dari Febi. Nadanya memakai lagu Jaran Goyang-nya Nella Kharisma.
Di pendengaranku kami sudah bernyanyi dengan keras dan kompak, tepukan tangan kami juga begitu. Murid-murid dua sekolah lain yang sudah tiba menatap ke arah kami. Aku tidak menatap balik mereka, daripada jadi grogi. Juri penilai kedatangan duduk di panggung sederhana yang alasnya terbuat dari kayu. Kami berbaris di samping SMA Bakti Negeri yang kutahu dari plang yang dibawa siswa terdepan. Aku menaruh plang yang kubawa di atas tanah. Setelah itu aku maju menghadap teman-temanku.
Saatnya unjuk diri.
"Smatajar!" seruku lagi.
"Terkenal kompak-eeee!"
"Begiiin!" Aku membalik badanku menghadap para juri yang masing-masing memegang map warna kuning.
"The voice from Smatajar come to you 'gain. We are from Taman P'lajar. Don't cry if you see us, 'cause we are the best. And than we winner again. Don't you cry. Take away and away. We are from Taman P'lajar." Aku membungkukkan badan di hadapan para juri lalu membalikkan badan. Teman-teman bertepuk tangan. Aksesoris merah marun di tangan mereka bergoyang-goyang. Burhan mengambilkan plang yang tadi kuletakkan di tanah lalu menyerahkannya padaku. Aku mengambil barisan di depan tengah. Teman-temanku di barisan yang kuambil itu mau tidak mau harus mundur. Tempatku memang di situ.
Ada empat SMA yang berlomba di sini selama lima hari ke depan. SMA yang datang terakhir setelahku mengunjukkan diri mereka tidak lama setelah aku berbaris di barisanku. Masih ada apel pembukaan lomba yang harus kami lalui sebelum berlomba.
Apel pembukaan dimulai kira-kira sepuluh menit setelah SMA terakhir menyanyikan yel-yel mereka. Waktunya tepat sesuai jadwal yang kini ada di kantong rokku. Seseorang siswa berjalan dari timur ke barat. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena tertimpa cahaya matahari. Aku menyimpulkan dia adalah siswa karena memakai celana abu-abu. Begitu berhenti di tengah-tengah barisan para murid dari empat sekolah, aku bisa melihatnya.
"Siaaap, grak!" ucap Evano dengan lantang. Tubuhku merinding lagi. Dulu aku pernah mendengar suaranya setegas ini, tapi kali ini lebih tegas dari yang dulu. Jauh lebih tegas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Fiksi RemajaTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...