Cekrek. Cekrek
"Oke, selanjutnya," ujar fotografer pada wisudawati di belakangnya. Dia menyunggikan senyum padaku. Aku mengenal dia dengan baik, begitu juga sebaliknya.
"Ya Allah, Ayah ngeri lihat kakimu, Ulfa. Ayah udah suruh kamu jangan pakai sandal yang ada hells-nya. Kenapa nggak nurut?" Aku terkekeh, pelan-pelan berjalan ke luar area perfotoan. Ayah membantuku berjalan meski sudah kukatakan kalau aku baik-baik saja.
Hidup lebih sering berjalan dengan cepat, meski kadang pernah berjalan lambat sekali. Lima tahun lalu aku sempat berpikir untuk berhenti hidup karena kakiku patah. Aku menertawakannya sekarang. Itu hal paling bodoh yang pernah aku pikirkan sepanjang hidupku. Saat itu aku benar-benar hancur. Kalau untuk berjalan saja aku kesulitan, apalagi untuk hidup, pikirku saat itu.
Masalah itu membuatku bersedih berhari-hari, tapi tetap kupaksa terlihat biasa saja saat teman-temanku mengunjungiku. Kabar paling menyenangkan yang kudengar saat musibah itu masih mengitariku adalah sekolahku berhasil memenangkan perlombaan yang diadakan PT. Sukma Wijaya. Aku mendapatkan penghargaan sebagai ketua suporter terbaik di antara empat sekolah. Itu pencapaian terbaik selama aku duduk di bangku sekolah. Penghargaan itu berpengaruh sedikit banyak pada relasiku di universitas.
Aku berterima kasih pada teman-temanku yang mengucapkan selamat atas kelulusanku, juga doa-doa baik mereka. Mereka pun pergi untuk berfoto dengan temanku yang lain. Mataku celingukan ke sana ke mari, mencari sosok yang katanya akan datang di wisudaku.
Febi sudah pergi dari tadi. Katanya dia harus pergi ke kantor kejaksaan untuk menuntut hak kepemilikan tanah orang tuanya. Aku tidak terlalu tahu bagaimana jelasnya, tapi aku mendoakan yang terbaik. Dia adalah yang pertama kali berfoto denganku setelah resepsi wisuda selesai.
Aku duduk di bawah pohon rindang. Karenanya aku tidak merasa kepanasan meski hari sudah hampir tiba di pertengahan siang. Aku menggoyang-goyangkan kakiku. Aku bersyukur sekali karena tidak menjadikannya alasan untuk mengakhiri hidup. Berkat kaki itu aku akhirnya tahu apa yang aku ingin tahu. Aku jadi teringat cerita kaki naas itu yang justru membawa kebahagiaan tersendiri untukku.
"Ulfa." Aku menoleh ke samping. Bukan, dia bukan orang yang aku tunggu.
"Kak Aron." Aku melempar senyum lalu sedikit menggeser tubuhku agar ada jarak di antara kami andai dia ingin mendudukkan tubuhnya.
"Selamat, ya," katanya lalu mengulurkan tangan, tangan yang dulu pernah mencelakanku. Itu dulu. Aku sadar, tidak baik membawa-bawa masa lalu di masa sekarang.
"Kok ada di sini?" tanyaku lalu melepas jabatan tangan kami.
"Hari ini ada jadwal konseling, nggak jauh tempatnya dari kampus. Aku tahu hari ini ada acara wisuda. Niatku mau jalan-jalan aja, tapi ada kamu jadi aku samperin." Kami saling tatap lalu saling melempar senyum.
Orang yang terlihat baik-baik saja dari luar belum tentu seperti itu di dalamnya. Sehari setelah aku mengalami kecelakaan malam itu, sepulangku dari pasar malam dengan keadaan kacau, bahkan nyawaku nyaris melayang, ibu Kak Aron mengungkap apa yang tidak pernah sampai di otakku sebelumnya tentang anak semata wayangnya.
Kak Aron pernah mengalami trauma yang tidak hanya sekali semasa hidupnya. Waktu kecil dia hampir dimutilasi, ibu Kak Aron tidak bercerita lebih bagaimana bisa terjadi dan bagaimana bisa Kak Aron selamat. Masa remajanya berjalan dengan tidak normal karena hal itu. Beranjak dewasa dia mengenal perempuan bernama Ulfa dan kembali mengalami trauma karena perempuan itu meninggalkannya selamanya. Sudah tidak terhitung berapa kali dia dan ibunya bolak-balik berobat. Kak Aron mengalami delusi dan halusinasi berat. Selama dia dan keluarganya masih tinggal di kontrakan, dia sering mengaku bertemu perempuan itu. Dia meyakini dia masih hidup.
Aku, Adinda Ulfa Pranindya memiliki wajah yang nyaris sama dengan perempuan itu, bahkan dua nama terdepanku sama dengan namanya. Orang tua Kak Aron mendapat pernyatan dari dokter kalau Kak Aron sudah sembuh dari traumanya. Mereka mengira Kak Aron mendekatiku karena aku adalah aku, bukan perempuan itu. Tetapi orang yang mengalami delusi tidak akan sadar dia mengalaminya. Kak Aron mengira aku adalah Ulfa-nya. Begitu perkiraan orang tua Kak Aron dilihat dari cerita yang kukatakan padanya, tentang kenapa kami bisa berakhir kecelakaan malam itu.
Dia kembali menjalani pengobatan itu setelah kecelakaan. Kejadian itu adalah trauma ketiganya.
"Kamu lagi nunggu seseorang?" tanyanya setelah kami terdiam lama.
Mana mungkin di sini aku sedang menunggu kambing. Jawabanku sukses mencairkan suasana antara kami.
"Evano?" tanyanya lagi yang juga kujawab dengan jawaban yang sama. Anggukan kepala.
"Kalau gitu aku pergi. Dia udah datang." Aku langsung menoleh ke kanan. Biasanya dia datang dari arah itu.
Biasanya. Aku terkekeh menyadari aku bisa memakai kata itu untuk menceritakan tentang Evano. Aku akhirnya menemukan dia sedang berjalan sambil membawa senyumannya. Tangan kirinya tersembunyi di belakang punggung. Tahun-tahun terus berganti, tapi detak jantungku masih bereaksi seperti awal aku bertemu dia.
Kupikir keinginan semua manusia di dunia ini sudah terlalu banyak, tapi ternyata masih ada keinginan lain, keinginan takdir, yang semakin memperbanyak keinginan di dunia ini.
"Selamat wisuda, Fava," ujarnya langsung menunjukkan sesuatu yang dia sembunyikan di belakang punggungnya. Fava, itu singkatan antara Ulfa dan Evano. Pertama kali mendengarnya, aku terkejut karena ternyata Evano bisa bersikap alay.
Aku membuka mulutku. Tanganku meraih foto dalam bingkai itu. "Nggak bisa bungkus rapi, jadi nggak aku bungkus aja." Dia menggaruk-garuk kepalanya lalu duduk. Aku melihat foto itu, foto kami berdua tepat di hari dia menyatakan perasaannya.
"Unchanged?" Aku mempertanyakan apakah aku tidak salah membaca satu kata yang ditulis tegak bersambung di bawah foto itu. "Apa yang nggak berubah?" tanyaku masih bingung.
"Perasaan kita. Apa lagi?" Dia tersenyum. Tai lalat di pipinya ikut terangkat. Titik itu menjadi daya tariknya.
Kita. Akhirnya aku dan dia bisa menjadi kita. "Kamu tahu apa yang paling aku syukuri hari ini?" tanyanya. Aku menoleh, tertarik dengan pertanyaannya.
"Aku bersyukur karena bisa tahan perasaanku ke kamu bertahun-tahun lamanya, dari lulus SMP sampai kuliah semester empat. Andai waktu itu aku ungkapin perasaanku, jadiin kamu pacarku, kita mungkin nggak duduk di sini hari ini. 'Kita' mungkin udah nggak ada."
Evano memelukku untuk pertama kalinya. Aku tidak bisa menahan air mataku. Pada intinya yang manusia ingin adalah diinginkan oleh sesuatu yang diingini dan aku telah mendapatkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Teen FictionTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...