Kalau ada yang mengatakan bermain media sosial itu merugikan, aku tidak setuju. Yang benar itu adalah bermain media sosial itu merugikan juga menguntungkan. Berkat media sosial, aku jadi tahu kalau Buya Hamka adalah nama samaran dari Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah. Untungnya aku tahu itu sebelum ada kuis pengetahuan umum yang sering diadakan guru sejarahku untuk menambah nilai harian.
Ada satu cerita hidupnya yang kutemui di media sosial yang membantuku berusaha tenang saat ini. Katanya temannya yang berkunjung ke negara Arab bertemu dengan pelacur, bahkan memakai cadar. Sedangkan Hamka tidak bertemu pelacur sekalipun itu di New York. Kata Hamka, kita hanya akan bertemu dengan apa yang kita cari.
Dari tadi aku mengingat pesan cerita itu. Aku ke sini hanya untuk mencari hiburan, hiburan yang positif jelasnya, jadi seharusnya aku hanya akan menemui kebaikan. Namun sepertinya itu tidak terjadi padaku. Entahlah, kalau dipikir-pikir memang tidak akan sama. Aku dan Buya Hamka tidak pantas dibandingkan, begitu juga dengan kisah hidup kami. Aku bukannya tenang, tapi malah tambah cemas.
Setelah makan, aku dan Kak Aron sepakat pergi ke wahana bermain. Sebenarnya hanya sebagian diriku yang menyepakati, tapi aku memaksa sebagian diriku yang menolak itu untuk ikut. Jadilah aku berjalan ke sana sambil menaut-nautkan jari-jariku.
"Kamu kenapa? Dari tadi aku lihat kayak nggak tenang," ujar Kak Aron.
Aku menatapnya. "Jadi dari tadi Kak Aron ngelihatin aku?" Uh, seharusnya aku tidak mengatakan hal itu. Aku menggeleng. "Kita pulang, yuk. Aku tiba-tiba nggak enak badan. Dingin banget rasanya. Terus agak pusing." Ucapanku berbohong seluruhnya.
Kak Aron langsung mengubah ekspresinya menjadi cemas. Aku mengeratkan jaketku agar kebohonganku terlihat nyata. Ini pertama kalinya aku merasakan keanehan luar biasa dalam hidupku. Aneh dan tidak nyaman, keduanya menjadi satu. "Kamu masih bisa tunggu sebentar? Ada sesuatu yang mau aku bilang ke kamu di sini."
"Iya, bilang aja," jawabku tanpa ragu seperti cara Kak Aron berbicara barusan.
Dia berdehem-dehem. Mataku tidak lepas dari wajahnya. Dia seperti ingin berbicara serius saja sampai berdehem-dehem seperti itu. Atau memang tenggorokannya terganggu? Aku menunggu dia bersiap-siap mau berbicara.
"Maaf karena bilang di sini. Seharusnya di tempat sepi yang mau aku tunjukin ke kamu. Seharusnya aku bawa bunga yang udah aku siapin di tempat itu, tapi kamu keburu sakit. Kesehatanmu jauh lebih penting." Sebentar, sepertinya aku tahu ke mana pembicaraan ini berujung. Dia mau menembakku. Iya, pasti itu!
Memang itu adanya. Dia mengatakannya dengan lancar di tengah keramaian manusia ini. Sebelumnya dia meraih kedua tanganku dan matanya menatap bola mataku tepat. Aku merasakan mataku berkaca-kaca. Tidak! Aku tidak sedang terharu, tapi malah sebaliknya.
Dunia terasa menyempit seketika dan aku kesulitan bernapas. Tugas hidungku digantikan oleh mulut. Rasanya lebih baik daripada aku bernapas melalui hidung. Kemarin-kemarin dia adalah laki-laki kedua yang memboncengku dengan motor miliknya sendiri setelah ayah. Dia juga yang pertama kali menggenggam tanganku. Kali ini dia yang pertama kali menyatakan perasaannya padaku. Katanya dia menyukaiku sejak bertemu denganku.
"Aku nggak bisa, Kak." Empat kata itu keluar bersamaan dengan menetesnya air mataku dari sumbernya. Aku lalu melepas tangannya paksa, berbalik ke belakang lalu berlari. Pandanganku kabur, kedua tanganku mengusapnya untuk membantuku mencari jalan keluar. Setiap pandanganku terlihat jelas, aku melihat orang-orang menatapku bingung. Ada yang menepi, memudahkan aku berlari.
"Ulfa!" Namaku disebut berkali-kali di belakang sana. Aku terus berlari, bahkan berharap aku bisa terbang saat itu juga.
Kenapa orang itu bukan kamu, No? Kenapa bukan kamu yang nyatain perasaan ke aku pertama kali? Kenapa bukan kamu yang suka sama aku? Kenapa malah orang lain, No?
Aku membatin. Tangisanku kini terdengar, tidak hanya berwujud air mata. Hembusan angin tadi tidak main-main ternyata. Malam ini memang buruk. Rasanya seperti ... entahlah. Ini terlalu menyesakkan untuk kujelaskan.
Ada sesuatu yang aku inginkan dan sesuatu itu seperti memberi harapan kalau aku bisa memilikinya. Ada sesuatu yang tidak aku ingin, tapi ia juga selalu memberi sinyal kalau aku akan memilikinya. Tentu aku akan sangat lebih memilih yang pertama, sesuatu yang kuingin. Namun yang kedua justru datang lebih dulu. Aku lebih memilih tidak mendapatkan keduanya daripada mendapatkan yang kedua. Juga aku masih tidak rela kalau aku tidak menjadi milik Evano. Aku masih ingin tahu bagaimana perasaannya padaku sebenarnya. Apa nomor tidak kukenal itu memang miliknya? Apa perempuan yang membuatnya menolak teman-teman SMA-nya adalah aku? Aku masih ingin tahu semua itu.
Perjalananku masih panjang. Aku masih tujuh belas tahun. Masih ada tahun-tahun ke depan untuk membuktikan semua itu. Aku tidak mau terikat dengan Kak Aron, resmi ataupun tidak.
Sialnya aku tersandung kakiku sendiri. Aku terdorong ke depan. Untungnya aku tidak jatuh ke tanah. Selain sakit yang bisa kurasakan, aku juga akan malu dilihat banyak orang jatuh di tempat umum. "Ulfa!" Bahuku dipegang Kak Aron. Aku sudah tidak bisa kabur lagi.
"Aku mau pulang, Kak." Aku berusaha mengenyahkan tangannya dari bahuku namun tidak bisa. Tangan itu sudah berpindah ke kedua tanganku. Kami kembali berhadapan.
"Kenapa? Kenapa kamu nolak? Bukannya kamu yang minta ini?"
"Minta apa? Aku nggak minta apa-apa dari Kakak. Kakak yang tiba-tiba sok deket, terus malam ini nyatain perasaan. Kalok aku nolak apa salahnya? Aku punya hak buat milih," kataku dengan volume sewajarnya. Kawasan ini tidak seramai tadi. Orang-orang yang berlalu lalang hanya sedikit.
"Kita sama-sama mau ini, Ulfa. Kamu yang minta buat aku nyatain perasaanku lagi, terus kita mulai dari awal." Dia kukuh mengatakan itu. Omongannya semakin tidak masuk akal. Katanya kemarin pagi aku jalan-jalan pagi bersamanya lalu aku memintanya melakukan hal yang barusan dia lakukan. Jelas sekali dia hanya bermimpi. Pagi hariku selalu sibuk berjalan-jalan di pasar bersama ayah, tidak mungkin bersama dia. Memangnya dia tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan, ya?
"Aku nggak mimpi, Ulfa!" Deg. Ini pertama kalinya jantungku berdetak lebih kencang saat bersama dia. Bukan karena aku mulai suka dengannya. Dengan sikapnya barusan, tidak mungkin aku menjadi suka padanya walau satu persen.
Genggaman halus Kak Aron berubah menjadi cengkeraman yang menyakitkan. Aku berusaha melepaskan tanganku sambil mengatakan kalau tanganku merasa sakit. Dia malah semakin mencengkeramnya. Tatapannya begitu penuh kebencian sampai aku tidak berani melihatnya. Dia berubah menjadi iblis, kalau itu terlalu jahat, maka setan sudah cukup mendeskripsikan. Aku tidak sempat berpikir kenapa bisa dia seperti itu. Yang aku lakukan hanya berusaha melepaskan cengkeramannya yang justru semakin kuat. Ingin meminta tolong, tapi aku tidak menemukan orang di sini. Mungkin ini tempat sepi di pasar malam yang Kak Aron maksud. Benar-benar sepi, hanya lampu-lampu kecil yang meramaikan.
Kak Aron menarikku. Aku akhirnya menyerah dengan usahaku sebelum tanganku semakin sakit. Tangan kiriku yang sudah dia lepaskan menjadi merah di bagian pergelangan.
"Lepasin, Kak!" Bibirku menolak ucapannya, tapi tubuhku terus ikut ke mana dia membawaku.
"Katamu mau pulang. Kita pulang sekarang!" ujarnya dengan nada dingin penuh emosi.
"Iya, tapi nggak usah dicengkeram kayak gini! Sakit!" Seseorang, tolong dengar suaraku. Air mataku kembali meluruh.
"Nggak akan aku lepasin kamu. Dan ingat! Mau kamu terima ataupun tolak permintaanku, kamu tetap jadi pacarku mulai malam ini."
Astaga. Hidupku semakin terasa seperti drama yang ditonton orang-orang.
Di parkiran kami berhenti. Dia melepaskan cengkeramannya. Kami saling diam sampai akhirnya motornya berbaur dengan kendaraan lain di jalan. Aku menangis menatap kedua pergelangan tanganku yang memerah semua. Tangan kanan lebih terasa sakit karena lebih lama dicengkeram. Indra pendengaranku mendengar suara orang menangis. Terasa sangat dekat. Kutengok ke kanan dan kiri, tapi tidak ada yang menangis. Semuanya sedang tertawa.
"Kenapa kamu ingkar janji, Ulfa?" Aku menoleh ke spion. Aku terkejut bukan main melihat Kak Aron menangis. "Kamu bilang kamu tetap suka sama aku bahkan setelah kamu mari dan hidup lagi. Tapi kenapa kamu nolak? Kamu tahu aku benci orang yang ingkar janji, sekalipun itu kamu, Ulfa. Aku cengkeram kamu buat balasan sikap jahatmu barusan."
"Kak ada yang mau nya—"
Bruk.
![](https://img.wattpad.com/cover/258832201-288-k327699.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Teen FictionTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...