3) Drama Hari Ketiga

5 3 0
                                        

Awal tahun ketigaku di sekolah ini baru berjalan dua hari. Kegiatan orientasi murid baru masih berjalan hari ini. Aku memperhatikan adik-adik kelasku yang duduk berkelompok di bawah hangatnya matahari. Mereka saling mengobrol entah membicarakan apa. Panitia MOS menyebar, mengawasi setiap kelompok.

Aku tersenyum melihat kegiatan MOS tahun ini yang sangat-sangat lebih waras dari MOS pada periodeku. Dulu, pada hari kedua MOS, aku ingat panitia kegiatan itu menyuruhku dan teman-teman meminta tanda tangan sepuluh kakak kelas 12 yang berasal dari daerah yang sudah ditentukan. Tidak waras sekali, kan? Sampai sekarang aku masih belum menemukan hikmah suruhan itu selain belajar menjadi stalker handal. Itu pun tidak berguna lagi sekarang. Mungkin karena aku tidak pernah mengasahnya, kemampuan itu hilang dengan sendirinya.

Tahun lalu, pihak guru mulai melek akan betapa tidak bergunanya beberapa tugas kegiatan MOS, juga sesi marah-marah senior pada junior. Tahun lalu, guru sudah menetapkan prosedur kegiatan MOS dan wajib ditaati. Akan tetapi dulu masih ada beberapa yang melanggar. Tahun ini aku yakin tidak ada yang melanggarnya.

Tambah loro.
Yakin we teko nambahi sengsoro.
Ngerusak tatanan ati sing wis pengen lali.
Karo gedhe duwure balunganmu.

Aku mengelus dadaku, mengajak organ di dalamnya (jantung) untuk bersabar karena baru saja ada yang mengejutkannya pagi ini. Aku menoleh ke samping. Benar saja, Febi yang menyuruhku menunggunya di dekat gerbang sudah datang. Tiba-tiba dia menyumbatkan earphone di telingaku sampai membuatku kaget. Aku menatapnya garang. Tanganku melepas benda itu lalu kukembalikan ke telinganya.

Pagi hari bukan waktunya mendengarkan lagu sedih. Aku menyalakan salah satu lagu Korea di handphone-ku dengan volume keras dan mendekatkannya di telinga Febi.

"Korea teruuuus!" ujar Febi. Dia yang awalnya cengengesan menjadi mencebik sebal. Dia ini salah satu warga Indonesia yang tidak suka hal-hal yang berhubungan dengan Korea, tapi bukan berarti dia benci. Dia netral untuk semua hal, apalagi kalau berhubungan musik. Kecuali dangdut, dia fanatik sekali dengan musik jenis itu.

"Nggak gitu, Feb. Ini masih pagi. Kamu lihat! Matahari lagi di waktu hangat-hangatnya. Hargain dia yang udah hangatin pagimu dengan dengarin lagu-lagu yang bikin semangat," kataku.

"Hei, ini lagu bikin semangat tahu! Makanya jangan dicopot earphone-nya, dengerin bener-bener. Lagunya enak buat joget, nah joget bisa bikin semangat." Dia memasangkan earphone-nya lagi di telingaku.

Aku dan Febi berjalan beriringan. Tahun ini kami sekelas, hal yang sudah kami harapkan dari awal masuk SMA. Febi menggerakkan semua badannya untuk berjoget. Seolah-olah menunjukkan padaku kalau pendapatnya tadi benar. Beberapa murid yang berpapasan dengan kami menyapa. Febi sama sekali tidak peduli. Aku membalas sapaan mereka sewajarnya; menampakkan senyum seramah-ramahnya.

Febi mencolek bahuku, menyuruhku menatapnya. "Lagu-lagu koplo kayak gini ngasih aku pelajaran kehidupan, Fa. Kamu tahu apa?" Aku menampakkan ekspresi sedang berpikir. Aslinya otakku kosong. Ya, aku tidak mau dia mengamuk gara-gara aku tidak tertarik dengan topik yang dia ambil pagi ini.

Tidak lama setelahnya aku menggeleng. Febi memutus tatapannya dari mataku. Matanya seperti menerawang masa lalu."Kita pernah nangis saking bahagianya. Jadi, sebaliknya nggak papa, kita ketawa pas sedih. Kita joget-joget walaupun lagi sedih. Lagu koplo tuh kayak ngasih cara baru gitu buat hilangin kesedihan. Dan itu manjur, sih, buat aku."

Kalau buatku, mungkin jatuhnya jadi pura-pura bahagia. "Emangnya kamu lagi sedih kena—" Aku terkejut sampai tidak bisa melanjutkan kalimatku. Febi menambah volume lagu secara drastis tanpa kabar-kabar lebih dulu. Aku membuang lagi earphone hitam itu dari telingaku kedua kalinya. Febi kenapa, sih? Aku menatapnya kesal dan siap meluncurkan kemarahanku padanya. Niat itu terdetik di hatiku sebelum aku melihat wajah sendunya.

Mataku mengikuti ke mana matanya menatap. Di arah itu aku melihat mantan pacar Febi sedang mencubit hidung pacar barunya. Tidak perlu Febi katakan, aku mengerti seberapa sakit hatinya melihat pemandangan itu.

Handphone yang dia pegang tanpa tenaga dengan mudah bisa kurebut. Aku mengecilkan volume lagunya untuk menyelamatkan telinga Febi dari kerusakan. Aku melepas kabel earphone Dan menyimpannya di tas Febi.

"Joget lagi, Feb. Katanya kalok sedih joget aja," ujarku. Aku pindah ke belakangnya. Kupegang kedua tangannya lalu kugerakkan ke kanan dan ke kiri agar seolah-olah dia sedang bergoyang. Sesederhana itu ternyata membuat mulutnya tertawa, tapi soal membuat hatinya tertawa pasti sulit sekali.

"Udan tangise ati. Saiki wes rodok tenang. Masio iseh kadang kelingan. Koe sing tak sayang-sayang. Saiki mung crito loro. Mpun kadung mbekas ning dodo. Perihe ati sing mbok paringi. Wes ra bakal tak baleni."

Kami melanjutkan langkah sambil menyanyikan lagu itu keras-keras. Febi kembali menggoyangkan badan. Aku ikut bergerak sedikit-sedikit dengan kaku.

Orang-orang yang berpapasan denganku kuabaikan. Tidak sempat kulihat bagaimana ekspresi mereka. Pikirku mungkin mereka akan menyengir karena risih melihat kelakuan Kami atau sebagainya. Itu pikiranku, ya. Kenyatannya berbeda, sungguh.

Aku berhenti menyanyi karena kaget dengan pemandangan yang ada tepat di sekitarku. Beberapa teman seangkatanku yang cewek malah ikut-ikutan berjoget.

Febi dan teman-teman semakin heboh. Aku menatap cemas mereka yang sedang diperhatikan Gibran dan pacar barunya dari jarak lumayan dekat. Dua pasang mata itu menatap tajam dengan ekspresi wajah naik pitam ke arah Febi dan teman-teman. Tidak kutemukan alasan yang pas yang membuat mereka berekspresi seperti itu, apalagi mengingat Gibran juga penyuka dangdut—aku tahu karena dia temanku SMP.

Hatiku tergerak ingin membubarkan mereka, tapi aku tidak ingin mengganggu kesenangan mereka. Masa bodohlah dengan tatapan sepasang kekasih itu. Aku berniat ikut berjoget lagi, tapi yang Gibran katakan dari tempatnya sangat menyentil emosi.

"Dasar cewek-cewek nggak punya malu. Gak lihat apa banyak adik kelas nontonin kalian? Dasar norak! Mesti ini gara-gara kamu kan, Feb? Haha, jelasnya iya." Dia tertawa. Kami berhenti menggoyangkan badan, saling tebak lewat ekspresi muka tentang apa maksud ucapan mantan pacar Febi itu.

"Dan kamu Ulfa! Temenan sama orang agak bener dikitlah. Evano gak pernah suka sama kamu gara-gara kamu temenan sama bocah gila nih," ujarnya lalu menyeringai. Tatapannya tertuju pada Febi.

Dalam ilmu alam dijelaskan kalau matahari adalah benda yang paling panas di dunia, tapi kenapa justru ucapan Gibran-lah yang membuat suasana di sekitarku menjadi panas? Matahari mungkin menangis karena tahu ada yang menyaingi kepanasannya. Pertama, dia mengatai Febi gila. Kedua, kenapa Evano dia bawa-bawa? Aku mengontrol emosiku. Otakku merespon kalau ucapan Gibran dengan ucapan orang gila tidak ada bedanya sekarang. Dia yang gila, bukan Febi. Aku baru akan menghembuskan napas keikhlasan, namun sepertinya Febi tidak bisa menahan emosi sebaik aku. Napasnya naik turun tidak beraturan, wajahnya memerah, dan tangannya mengepal.

Tendangan kakinya mendarat di perut Gibran. Dasar aku! Di saat-saat seperti ini bisa-bisanya aku berpikir 'ternyata pakai kaki ya nyakitinnya'. Kupikir dengan mengepalkan tangannya, Febi akan menonjok atau menampar wajah Gibran dengan alat geraknya yang terletak di atas itu. Sedetik kemudian aku berusaha mengendalikan Febi sebelum dia tidak terkendali. Aku menarik badannya susah payah, untung teman-temanku lumayan peka, jadi mereka membantuku.

Aku merasakan amarah yang besar sekali di dalam tubuh Febi. "Kamu yang gila! Kamu yang nggak bener! Kamu goblok segoblok-gobloknya orang yang goblok! Bisa-bisanya kamu sebucin ini sampai ngatain penyuka dangdut norak? Jangan lupa kalok kamu dulu juga suka dangdut. Dari dulu kamu udah norak dan sekarang kamu masih norak gara-gara mau jadi budak cewek norak ini. Dasar norak, gilaaaa!"

Aku ikhlas memeluk Febi agar dia terkendali, tapi aku khawatir dengan kesahatan telingaku setelah ini.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang