"Pindah ke belakang. Kalau nggak mau, biarin aku di sini."
Aku tahu kenapa move on itu sulit. Karena melupakan satu kejadian yang bahkan sepele sekali bisa sesulit ini. Pagi tadi aku dan Evano berdebat. Aku ketua tim suporter, bahkan ketua perlombaan. Aku tidak mungkin berada di barisan belakang. Aku juga ingin menonton teman-temanku berjuang. Evano juga tidak mungkin berdiri di depanku. Teman-teman satu timnya ada di bagian lapangan yang lain, di sampingku tepat. Dia seharusnya ada di sana juga. Bukan itu alasan utamaku menyuruhnya pergi. Sebenarnya aku tidak mau terus membuat jantungku berdenyut lebih cepat. Aku tidak mau tidak bergerak bebas.
"Ya udah. Kalau gitu aku di sini." Dia menyuruh temannya bergeser sedikit. Dia berdiri di belakangku.
"Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Biar aku kasih tahu kamu kalau ada bola kasti ke sini." Saat itu aku kesal sendiri. Tidak Kak Aron, tidak dia, kenapa semuanya menjadi peduli padaku tiba-tiba?
Kenapa tidak dari dulu Evano bersikap seperti itu? Kenapa baru sekarang saat aku mencoba mengikisnya pelan-pelan? Pertahananku hancur, aku tidak bisa untuk tidak mempertanyakan sikapnya yang tiba-tiba seperti itu. Ini sesuatu yang wajar menurutku. Tiba-tiba orang yang kusukai, orang yang kuharapkan menyukaiku, sedikit memperhatikanku. Bagaimana bisa aku tidak ge-er? Untungnya aku selalu ingat kalau hal yang diharapkan berakhir manis justru kadang berakhir sebaliknya. Aku berniat menuntaskan ke-ge-er-an diriku sebelum Febi tahu. Aku tidak mau membawa-bawa kegalauanku sampai besok. Bisa-bisa besok aku tidak menikmati perjuangan ini. Hari ini saja sudah begitu, aku tidak mau mengulanginya.
Aku menarik napas cukup dalam lalu kuhembuskan pelan. Menenangkan diriku setenang mungkin. Aku mengatakan pada diriku sendiri kalau Evano tidak mungkin menyukaiku. Apa yang nggak mungkin di dunia ini, Ulfa? Semuanya mungkin, ada Tuhan di sini. Aku mengabaikan suara yang mengganggu sesi seriusku menghempas Evano. Aku mengingat perkataan Febi saat dia memergoki nomor tidak dikenal yang mengaku Evano menghubungiku. Apa gunanya mengatakan seperti itu kalau tidak ada buktinya, lagi pula dia tidak mengatakannya langsung. Dia baru mulai nunjukin dia suka kamu, Ulfa. Ngomongnya ya nanti, sekarang nunjukin dulu rasa suka dia.
Arrrgh! Aku hanya berani mengerang, tidak berani mengumpat, takut diomeli ayah dan ibu. Aku bersujud di kasurku sambil memegangi kepalaku. Berdebat dengan diri sendiri itu sulit sekali. Semuanya berlomba untuk menjadi pemenang, berlomba menjadi keputusan terakhir yang aku ambil.
"Ulfa! Ulfa!" Aku kembali duduk. Kutatap sebentar pintu kamarku. Keinginanku untuk berteriak sedang itu. Aku menjawab panggilan ibu dengan keras.
"Ada Aron, nih, keluar." Duh, kenapa lagi orang itu mencariku? Enaknya kutemui apa tidak, ya? "Jangan berpikir buat nolak dengan alasan capek. Kamu udah tidur sampek sore tadi."
Ibu sering sekali melebih-lebihkan sesuatu. Iya, aku memang tidur sampai sore, tapi aku memulainya juga di waktu sore. Pukul empat sampai tiga puluh menit setelahnya, sekitar di waktu itu. Tanpa ibu sadari dia sudah menjelek-jelekkanku dan aku benci itu. Aku akhirnya ke luar kamar. Menyibukkan diri adalah obat melupakan yang terbaik, mungkin.
Kupikir Kak Aron ada di ruang tamu. Dia tidak di sana, berarti dia di teras. "Malam, Kak." Aku menyapa lebih dulu sembari tersenyum.
Dia langsung mengalihkan pandangannya dari malam berbintang. Tidak lupa dia menjawab sapaanku sama singkatnya sepertiku, sambil melempar senyum juga. "Gimana hari ini?" tanyanya. Dia ke sini untuk menanyakan itu saja, ya?
Apa iya aku harus menceritakan semuanya dari awal sampai akhir? "Baik," jawabku pada akhirnya. Aku tidak tahu kenapa kata itu yang aku keluarkan. Antara malas menjawab panjang lebar dan aku memang merasakan hari ini baik meski tidak seluruhnya. Aku begitu bersemangat. Rasanya produktif sekali mengeluarkan suaraku sebanyak-banyaknya untuk mendukung sekolah yang kuimpikan sejak SMP. Ini juga pertama kalinya aku memegang peran penting di sebuah acara. Diperhatikan Evano, itu juga salah satu hal yang menambah baiknya hari ini meski akhirnya ingin aku lupakan.
Seperti dugaanku, Kak Aron menginginkan jawaban lebih. Aku menceritakan sesingkat-singkatnya. Kira-kira kalau aku bercerita tentang Evano, bagaimana perasaan Kak Aron? Dia kan sedang mendekatiku. Akhirnya aku putuskan memendam kenangan itu daripada membuatnya merasa sungkan. Sebenarnya aku ingin membagi pikiran ini. Sayangnya tidak ada orang tepat yang bisa kuajak berbagi. Febi yang statusnya adalah sahabatku sendiri tidak bisa diharapkan. Lala masih kecil. Pikiran ayah tidak pantas memikirkan urusan remaja labil sepertiku, apalagi ibu yang di pikirannya hanya kerja, kerja, dan kerja.
"Hari ini baik, ya? Tapi kamu kelihatan nggak bersemangat," kata Kak Aron. Aku mengedikkan bahu pelan, tidak tahu dia melihatnya atau tidak. "Kamu masih capek, ya? Aku ganggu kamu? Tapi kata ibumu, kamu tidur sampai sore."
Aku menatapnya tidak percaya lalu tertawa. "Kak Aron percaya omongan Ibu?" Dengan wajah sungkan dia mengangguk tanpa ragu. Aku tertawa lagi sebelum menyuruhnya mendekatkan telinganya padaku. Aku juga mendekatkan mulutku di telinganya. "Ibu itu pembohong, sering banget. Kak Aron jangan percayaan kalok dibilangin sesuatu sama dia. Percaya sama aku," bisikku lalu kami sama-sama menjauh.
Ganti Kak Aron yang tertawa, nyaris terkekeh. "Makasih informasinya. Kalau nggak, bisa susah tidur aku mikir, masa iya kamu kayak gitu. Nggak mungkin banget," katanya.
Aku ingin tahu kenapa dia bisa mengatakan seperti itu. Apa dia hanya asal bicara atau bicaranya itu memang ada dasarnya. Dia beringsut sedikit. Tangannya yang tadi terpangku di pahanya berpindah ke atas kursi tangan. "Aku pernah baca kalau Allah itu cabut kecerahan wajah orang yang tidur sore hari, tapi kamu tetap cerah malam ini. Terus katanya tubuh jadi lemas dan nggak bertenaga gitu, tapi kamu nggak gitu."
Tidak tahu yang dikatakan Kak Aron itu benar atau tidak, tapi kalau membawa nama Tuhan, meski tidak memakai sumpah, bukankah itu berarti dia tidak main-main? Aku tetap mengerutkan alisku, ada yang aneh. Bukankah tadi dia bilang aku seperti tidak bersemangat? Sama saja dengan lemas, kan?
"Itu tadi. Sekarang beda lagi." Aku masih punya kata-kata untuk mendebatnya, tapi aku urung mengatakannya. Kami kembali diam. Aku memperhatikan wanita-wanita yang keluar masuk ruang laundry. Tidak banyak, tapi setiap malam sehabis Magrib seperti ini pasti ada. Sampai pukul delapan nanti laundry akan dibuka.
Aku cukup terkejut ketika tiba-tiba ada tangan yang menjalar di rambutku. Aku menghadap Kak Aron. Kutemui tangannya ada di kepalaku. "Sebentar, jepitanmu hampir jatuh ini. Daripada jatuh beneran terus hilang."
Siapa bilang aku tidak bisa melakukan itu sendiri? Aku bisa, tapi aku membiarkannya melakukannya. Aku terlalu bingung menghadapi detak jantungku yang bisa-bisanya berdegup normal padahal jarakku dengan Kak Aron nyaris tidak ada. Dia berdiri di hadapanku dengan tubuh membungkuk. Bahkan aku merasakan hembusan napasnya mengusik beberapa helai rambutku. Ini gila. Kenapa bagian vital tubuhku itu melonjak-lonjak tidak normal hanya saat berdekatan dengan Evano?
Aku sengaja menatap Kak Aron. Mungkin dengan begitu jantungku akan berdetak tidak normal, atau paling tidak ada yang berdesir di dalam tubuhku. Masalahnya meski kami bertatapan dengan jarak sedekat itu, aku malah mendengar detak jantung Kak Aron yang tidak karuan. Aku bisa merasakan tatapannya dalam sekali, tapi aku sendiri yakin tatapanku sedang bingung sekali saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Fiksi RemajaTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...