18) One Step Closer

1 2 0
                                    

Teman-temanku berhenti menggoda setelah Kak Aron angkat suara. Teman-teman yang jahat mereka itu! Omongan teman sendiri tidak didengar, giliran omongan orang asing seganteng Kak Aron saja langsung didengar.

Aku dan Kak Aron menepi setelah itu, tepatnya setelah aku mencicipi teh pucuk yang dibawa Guntur dan Burhan. Kami berdua duduk di pinggir salah satu sisi aula, mengobrol. Teman-temanku ramai saling mengantre meminum minuman dingin itu. Kak Aron meminta maaf atas kesalahpahaman tadi yang sebenarnya bukan salah dia

"Aku salah lihat tanggal." Kak Aron tertawa. Reflek aku menepuk dahiku. Bisa-bisanya dia salah melihat tanggal yang mestinya ada di handphone yang setiap saat dia pegang.

Jadi hari ini setelah mengantarkanku ke sekolah, dia seharusnya mengikuti seminar di kampusnya. Aku bertanya, kalau memang acara itu ada, kenapa Burhan dan Guntur bisa menemukan dia di depan gerbang sekolahanku. Jawabannya itu tadi, salah lihat tanggal. Seminar itu dilaksanakan masih minggu depan.

"Emang Kakak nggak komunikasi sama teman-teman? Terus seharusnya Kakak lihat persiapan seminar itu kalau emang diadain hari ini. Nggak mikir ke situ?" tanyaku.

Dia mengedikkan bahu lalu menggeleng. "Barusan aku isi internet. Aku nggak bisa komunikasi sama teman-teman kalau nggak punya koneksi internet. Kemarin juga aku nggak ngampus. Kan seharian aku antar jemput kamu, nggak ingat?" Dia meniru gaya bicaraku waktu menanyainya barusan. Aku memalingkan muka, malu mendengar gaya bicaranya yang dibuat-buat itu.

Kami diam sejenak. Melihat rambutnya yang berantakan tidak tahu karena apa, tiba-tiba aku ingin merapikannya. Namun keramaian ini memberi sinyal agar aku tidak melakukannya. Teman-temanku bisa lebih heboh. "Boleh aku tanya?" Aku kembali menatap Kak Aron setelah menatap teman-temanku sebentar.

Ekspresinya terlihat ragu. Dia menjilati bibirnya, lalu jakunnya terlihat bergerak turun. Dia pasti habis menelan ludahnya. "Soal Evano ... dia siapa?" Bahkan suaranya sangat lirih. Dia mungkin tahu pertanyaan itu akan menyinggungku, dan memang benar begitu. Kenapa lagi-lagi dia dibahas?

Dia teman SMP-ku. Aku hanya menjawab itu tanpa bertanya balik kenapa dia ingin tahu atau pertanyaan lainnya. Respon Kak Aron hanya berupa anggukan. Dia terlihat masih menyimpan pertanyaan lain, tapi urung dia katakan. Aku bisa saja salah tebakan, jadi aku diam. Lagi pula aku mau percakapan tentang dia cukup sampai situ. "Aku masih lama di sini. Kakak yakin mau di sini aja? Nggak mendingan pulang dulu? Ngapain gitu, rebahan, nonton tivi, main game." Aku merasa kasihan dengan waktunya yang dia buang begitu saja.

Senyumnya mengembang. Aku melihat satu garis kerutan di dekat kedua matanya. "Aku lebih suka lihat kamu."

Lima kata itu mungkin romantis maknanya, tapi kalau aku menertawakannya, bukan sesuatu yang salah pastinya. Aku memukul lengannya dengan tangan kananku. Tangan kiriku aku pakai untuk menutup mulutku. Aku tidak mau dia tahu kalau caraku tertawa tidak seelegan itu; membuka mulut lebar-lebar. Di mataku, dia tidak lebih dari tukang gombal kelas kakap. Aku kemudian pamit pergi setelah memberi tahunya kalau di depan sana ada kursi yang bisa dia pakai duduk. Ya, setidaknya dia membuang waktunya dengan cara yang lebih baik; duduk di kursi dan tidak lesehan sendirian di pinggir aula.

***

"Loh, kita langsung pulang?" Kak Aron menatapku bingung. Aku balik menatapnya dengan kebingungan. Memangnya aku dan dia harus ke mana lagi kalau tidak pulang?

Aku sudah menyelesaikan tugas ibu dibantu Kak Aron, baru saja. Semua barang-barang itu ada dalam plastik hitam di tanganku, kecuali pembalut. Aku benar-benar tidak membelikannya. Kasir toko itu laki-laki semua hari ini. Ditambah lagi ada Kak Aron menemaniku. Aku tidak mau ditimpa malu terus-terusan. Sebagai gantinya, aku akan membelikannya di toko lain sendirian yang kasirnya perempuan.  Nanti setelah sampai di rumah.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang