"Sebentar lagi kita sampai, Ulfa." Aku kembali menghadap ke depan setelah terbius oleh kemewahan rumah-rumah di sisi kanan dan kiriku. Semuanya bertingkat, beberapa ada halaman yang mempunyai halaman cukup luas dan gerbang menjulang tinggi lengkap dengan pos satpam. Mirip dengan rumah orang kaya yang sering ditayangkan di sinetron Indonesia. Cat rumah-rumah itu juga kalem-kalem dan bebas dari noda. Dua hal itu menambah kesan kemewahan bagiku. Rumahku pasti insecure kalau disandingkan dengan rumah-rumah ini.
Tidak lama kemudian Kak Aron menurunkan kakinya sambil mengerem motornya. Kami berhenti dengan mulus seperti biasanya. Rumah teman Kak Aron tidak berhalaman luas dan tidak bergerbang.
"Ron!" Aku menoleh ke arah rumah itu. Itu pasti teman Kak Aron yang dia maksud. Rambutnya keriting panjang berwarna coklat, itu yang membuatku tidak lepas menatapnya yang sedang berjalan ke arah kami. Aku belum pernah melihat rambut seperti itu secara langsung. Dia berhenti di depanku dengan tatapan bingung, atau terkejut? Entahlah, dua ekspresi itu hampir sama bagiku. Karena kadang orang terkejut tidak selalu terlonjak, melototkan mata, dan ekspresi lain yang umum. "Dia ...," ujarnya pada Kak Aron dengan telunjuk menunjukku.
"Sore, Kak. Aku Ulfa, tetangga Kak Aron," ujarku. Dia menatapku sekilas lalu kembali menatap Kak Aron. Mungkin dia memastikan apa benar kami bertetanggaan.
Aku melihat raut ketidaksetujuan di wajah Kak Aron sebelum akhirnya dia berkata iya dengan ekspresi tidak puas. Masa dia mau aku menganggapnya lebih dari tetangga? Aku tidak terlalu memikirkan itu karena teman Kak Aron mengenalkan dirinya balik padaku. Namanya Nesie ternyata. Dia berteman dengan Kak Aron sejak SMA.
"Ayuk, masuk!" Dia masuk lebih dulu. Kak Aron menggandeng tanganku sebelum berjalan.
Rasanya seperti aku menginjakkan kaki di sebuah istana. Aku baru menginjak lantai tangga pertama rumah itu. Sensasi lantainya saja sudah berbeda dari sensasi lantai rumahku. Rasanya lebih licin dan pastinya lebih kinclong berkali-kali lipat dari rumahku. Aku nyaris bisa melihat pantulan wajahku di lantai rumah. "Hati-hati, Ulfa. Ini licin benget, apalagi kamu pakai sepatu seperti itu," Kak Aron memperingatkan.
Kursi tamu terasa hampir seperti kasur di kamarku, bahkan lebih empuk kursi ini. Andai ini rumahku sendiri, aku ingin melompat-lompat girang di atasnya. Akhirnya aku hanya diam dan duduk manis seperti anak baik-baik. Seorang wanita memakai daster menghampiri meja tamu. Dia membawa dua gelas minuman berwarna orange. "Silakan diminum, Dik," kata wanita itu lalu pergi.
Kak Aron ke sini karena mau memfoto catatan mata kuliah milik Kak Nesie yang belum dia tulis. Kami masih menunggunya mengambilnya, dalam diam. Sudah terlalu banyak percakapan yang kami lakukan di perjalanan tadi. Tentang sikap peduli tadi khususnya. Juga dia mengajakku pergi ke pasar malam di akhir bulan nanti, dan lain-lain. Soal itu aku belum bisa mengiakan, ibu belum tentu mengizinkan. Ayah masih kemungkinan kecil.
Kak Nesie kembali ke ruang tamu. Rambutnya kini terkumpul rapi di dalam ikatan rambutnya. Tatapannya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tapi tidak datar juga. "Ayo diminum, Ulfa," ujarnya setelah memberikan bukunya pada Kak Aron. Aku kembali mengiakan suruhan itu tanpa melakukannya. Kuperhatikan Kak Aron memfoto satu per satu halaman buku itu.
"Aku sebenarnya udah suruh dia buat bawa bukuku, tapi dia nggak mau. Aku punya tugas yang ada hubungannya di buku itu, tapi aku masih punya catetannya di laptop. Aron orangnya emang nggak mau repotin orang lain," Kak Nesie mengajakku bicara. Apa yang bisa aku lakukan selain tersenyum menanggapinya?
"Kamu nggak usah puji-puji aku di depan orang gitu. Aku nggak minta." Untung Kak Aron menyahut, jadi kesannya aku tidak terlalu cuek.
"Siapa yang puji kamu? Aku cuma kasih tahu tetanggamu ini. Ulfa, repotin dia terus, ya. Dia suka direpotin. Serius."

KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Teen FictionTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...