Aku menyerahkan handphone-ku dengan paksa pada Febi. Kedua tanganku kemudian saling menepuk. Dari kemarin aku sudah berniat menonton video Febi bernyanyi yang Meli rekam, bersama dengan orang yang ada di video itu. Sayangnya kemarin aku dan dia tidak sempat bertemu. Ketika Febi masih membersihkan mukanya, mencopot kostumnya, dan mengurusi hal lain, aku sudah ditunggu di depan gerbang oleh orang yang akhir-akhir ini sibuk menjemputku. Kami pun baru bertemu di sekolah saat aku dan teman-teman akan naik ke atas truk. Febi hampir terlambat. Karena itu kami menonton video itu di atas truk yang sedang berjalan.
"Lebih bagus dari biasanya, Feb," aku memujinya dengan serius.
"Biasalah," ujarnya dengan muka bangga. Dia mengembalikan handphone-ku. "Tapi ada yang lebih bagus kemarin. Bajunya, suaranya, udah gitu lebih cantik dari aku." Seketika dia cemberut.
Buru-buru aku memegang bahunya, agak sulit sebenarnya bergerak di sini karena ruang kosong di atas benda berjalan ini sedikit sekali. "Inget. Suporter juga berpengaruh. Temen-temen pasti pinter suportnya. Kan udah aku ajarin." Aku tertawa, menyombongkan diri sedikit.
Febi menatap arah lain. Mukanya sedikit kusut. "Oh, iya," ujarnya tidak selang lama kemudian. Matanya kembali menatapku. Aku mengangkat daguku sekilas dengan cepat.
"Kemarin Nadin cerita. Aku ketemu dia pas dia nyamperin Meli yang lagi bantuin aku hapus make up. Katanya kamu hampir kena bola kasti kalok nggak ada cowok yang lindungin kamu. Dari Smanasia katanya. Dia Evano?" tanyanya dengan mata sebelah kiri memincing menatapku.
Aku tidak mengalihkan pandangan dari muka Febi untuk beberapa detik. Kenapa juga Nadin bercerita? Aku mendongak setelah pertanyaan itu muncul. Mendongak sebentar lalu menatap depan. Aku memang tidak menyuruhnya untuk tidak menceritakan kejadian itu pada siapa-siapa. Tidak ada yang perlu dirahasiakan dari obrolan kemarin dengannya di tempat umum itu. Masalahnya, untuk apa dia menceritakan itu pada Febi? Aku mengangguk, tidak mau membuat Febi menunggu terlalu lama akan jawaban sesingkat itu.
"Dih, orang itu ngapain tiba-tiba muncul?" responnya.
"Nyelametin aku dari kena bola kasti. Kamu dengerin cerita Nadin beneran nggak kok masih tanya itu?"
Aku mendengar helaan napas Febi. "Beneran. Aku salah ngomong. Maksudku, ngapain dia ngomong semua yang dia omongin ke kamu? Gunanya apa?" Aku langsung tahu omongan mana yang Febi maksud.
Ganti aku yang menghela napas. Semalam aku mati-matian mengenyahkan pertanyaan itu, tahu-tahu paginya diingatkan lagi. Bahkan sepagi ini, baru pukul tujuh lewat beberapa menit. "Aku juga nggak tahu." Aku tahu ekspresiku berubah lesu dan Febi pasti melihatnya. Barusan ketara sekali pastinya karena aku memperlihatkannya dengan sengaja.
Kak Aron yang semalam tiba-tiba datang tidak membantu sama sekali. Pertanyaan baru malah muncul sejak terjadi kejadian di antata kami yang seharusnya membuatku salah tingkah, tapi adanya tidak seperti itu. Tentang jantungku yang tidak berdetak lebih cepat bahkan saat aku dan dia berdekatan. Bagaimana bisa seperti itu? Febi pasti mendengar helaan napasku lagi. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya sekarang. Ya, mau bagaimana lagi. Tidak semua hal harus berjalan sebagaimana seharusnya.
"Jangan bilang tadi malam kamu galau," tuduhnya. Entahlah bisa disebut tuduhan atau bukan. Kan yang dia katakan tidak salah.
Dia menggoyang-goyangkan bahuku. Semangatku hilang. Ini salah Febi karena dia yang membuka pembicaraan ini. Dia menyadarkanku. Katanya, aku sudah punya Kak Aron. Aku tidak boleh goyah darinya. Dia menyuruhku seperti itu. Ada banyak yang dia katakan, intinya seperti itu. Aku tidak terlalu mendengarkannya. Jalanan kota di waktu pagi selalu ramai.
"Emang kapan aku pernah yakin sama Kak Aron?" Aku mempertanyakan ucapan Febi yang sok tahu. Apa selama ini aku terlihat yakin padanya?
Aku melihat keterkejutan di wajah Febi dengan jelas. Ternyata dugaanku benar. Dia mengira selama ini aku yakin pada Kak Aron. Aku jujur pagi ini setelah menghela napas lagi. Di saat berat seperti ini memang waktu paling menyenangkan untuk menghela napas. Awalnya memang aku berniat untuk membuka hati padanya, mempersilakan orang baru menggeser Evano pelan-pelan. Aku mencoba saran dari Alfa, yang kata Febi tidak ada salahnya dicoba. Pendapat ayah di pasar pagi itu menguatkanku untuk mencoba cara yang Alfa sarankan.
![](https://img.wattpad.com/cover/258832201-288-k327699.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
أدب المراهقينTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...